Press "Enter" to skip to content

Simbol Sakramen Tobat

Vatikan II, Lumen Gentium 11 § 2; KGK 1422)[1] Dengan menerima Sakramen Rekonsiliasi, peniten (sebutan bagi yang melakukan pengakuan, tetapi maknanya tidak sebatas dalam hal ini saja) dapat memperoleh pengampunan atas dosa-dosa yang diperbuat setelah Pembaptisan; karena Sakramen Baptis tidak membebaskan seseorang dari kecenderungan berbuat dosa. Di antara seluruh tindakan peniten, penyesalan (bahasa Inggris: contrition) adalah tahapan pertama. Dipandang dari sisi manusiawi, pengakuan atau penyampaian dosa-dosanya sendiri akan membebaskan seseorang dan merintis perdamaiannya dengan orang lain. Pengakuan di hadapan seorang imam merupakan bagian penting dalam Sakramen Pengakuan Dosa sebagaimana disampaikan dalam Konsili Trente (DS 1680): “Dalam Pengakuan para peniten harus menyampaikan semua dosa berat yang mereka sadari setelah pemeriksaan diri secara saksama, termasuk juga dosa-dosa yang paling rahasia dan telah dilakukan melawan dua perintah terakhir dari Sepuluh Perintah Allah (Keluaran 20:17, Ulangan 5:21, Matius 5:28); terkadang dosa-dosa tersebut melukai jiwa lebih berat dan karena itu lebih berbahaya daripada dosa-dosa yang dilakukan secara terbuka.

Setelah seorang peniten melakukan bagiannya dengan menyesali dan mengakukan dosa-dosanya, maka kemudian giliran Allah melalui Putera-Nya (Yesus Kristus) memberikan pendamaian berupa pengampunan dosa (atau absolusi). [1] Sehingga dalam pelayanan sakramen ini, seorang imam mempergunakan kuasa imamat yang dimilikinya dan ia bertindak atas nama Kristus (In persona Christi).

Rumusan absolusi yang diucapkan seorang imam dalam Gereja Latin menggambarkan unsur-unsur penting dalam sakramen ini, yaitu belas kasih Bapa yang adalah sumber segala pengampunan; kalimat intinya: “… Saya melepaskanmu dari dosa-dosamu …”. Dalam Summa Theologia, Santo Thomas Aquinas mengatakan bahwa rumusan absolusi tersebut adalah berdasarkan kata-kata Yesus kepada Santo Petrus (Matius 16:19) dan hanya digunakan dalam absolusi sakramental –yaitu pengakuan secara pribadi di hadapan seorang imam.

Menurut KGK 1459, kebanyakan dosa-dosa yang diperbuat seseorang menyebabkan kerugian bagi orang lain.

Setelah pendosa diampuni dari dosanya, ia harus memulihkan kesehatan spiritualnya dengan melakukan sesuatu yang lebih untuk menebus kesalahannya; pendosa yang telah diampuni tersebut harus “melakukan silih”, atau biasa disebut penitensi.

Penitensi tersebut dapat terdiri dari doa, derma, karya amal, pelayanan terhadap sesama, penyangkalan diri yang dilakukan secara sukarela, berbagai bentuk pengorbanan, dan terutama menerima salib yang harus dipikulnya dengan sabar. perdamaian (rekonsiliasi) dengan Gereja dan Allah, di mana peniten memperoleh kembali rahmat yang sebelumnya hilang akibat dosa

[6] Namun ada pengecualian bahwa jika peniten berada dalam bahaya maut (kematian), setiap imam walaupun tanpa kewenangan dapat memberikan absolusi secara sah. Namun biasanya di dalam ruang atau bilik pengakuan disediakan teks panduan mengenai apa yang harus dilakukan peniten, terutama pada suatu pengakuan terjadwal –misalnya pada masa Pra-Paskah dan masa Adven. Menurut Kanon 844 §2, umat Katolik diperkenankan menerima Sakramen Rekonsiliasi dari pelayan yang bukan dari Gereja Katolik jika membuatnya mendapatkan manfaat rohani yang nyata dan ia berada dalam keadaan mendesak. Setiap umat yang telah mencapai usia yang dianggap mampu untuk membuat pertimbangan dan bertanggung jawab atas tindakannya, diwajibkan untuk dengan setia mengakukan dosa-dosa beratnya melalui Sakramen Rekonsiliasi minimal satu kali dalam setahun. [8] Perintah kedua dari “Lima perintah Gereja” juga menyebutkan mengenai kewajiban seseorang untuk mengakukan dosa-dosanya minimal sekali setahun untuk menjamin penerimaan Hosti Kudus secara layak dalam Perayaan Ekaristi, yang mana merupakan kelanjutan dari pertobatan dan pengampunan yang telah diterima dalam Pembaptisan. Walaupun tidak diwajibkan, pengakuan atas dosa-dosa ringan yang dilakukan sehari-hari sangat dianjurkan oleh Gereja.

Pengakuan dosa-dosa ringan secara teratur membantu seseorang dalam membentuk hati nurani yang baik dan melawan kecenderungan yang jahat; seseorang membiarkan dirinya disembuhkan oleh Kristus dan bertumbuh dalam hidup rohaninya. Kewajiban menyimpan rahasia sakramental juga berlaku pada penerjemah, jika ada, dan semua orang lain yang dengan cara apapun memperoleh pengetahuan mengenai dosa-dosa dari suatu Pengakuan Dosa.

Sakramen Tobat, Tanda Kasih Pengampunan Tuhan dalam Tradisi Katolik

Tak hanya lewat pantang dan puasa, masa Prapaskah juga diisi dengan penerimaan sakramen tobat. Sebagaimana dilansir Katolisitas, sakramen tobat memberi kesempatan orang yang berdosa untuk bertobat dan memperoleh kembali rahmat pembenaran dari Allah. Kisah ini menggambarkan betapa Allah mau menerima anak-anak-Nya lagi meski sang anak sudah berbuat dosa dan menjauh dari-Nya. Anda akan memasuki bilik pengakuan dosa, berlutut, dan menerima berkat pengantar lalu membuat tanda salib sebagai pembukaan pertobatan. Sebagai penutup, Imam akan memberikan absolusi, lalu Anda membuat tanda salib dan mengucapkan terima kasih.

Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

[1] Pertemuan umat dengan Allah dalam perayaan liturgi tidak bisa lepas dari simbol dan tanda. [2] Agama mistik mengatakan bahwa manusia tidak dapat membayangkan dan menggambarkan Allah, kecuali dengan memanfaatkan simbol.

[1] Dapat juga dikatakan bahwa simbol adalah tanda indrawi, barang atau tindakan, yang menyatakan realita lain di luar dirinya.

[3] Simbol memiliki lingkup makna dan kandungan isi yang amat luas, karena itu merupakan sarana ulung untuk mengungkapkan sesuatu tentang Tuhan.

[2] Simbol juga berfungsi sebagai alah satu bentuk komunikasi antara Allah dan sesama. Masa lalu yang ingin dihadirkan kembali pada saat ini secara simbolis antara lain:[2]

[1] Hal ini dikarenakan manusia dapat mengungkapkan dan melaksanakan dirinya dalam bentuk simbol. [1] Kegiatan indrawi yang dimaksud misalkan mendengarkan, melihat, menyentuh, merasakan dan mencium.

[2] Di dalam gereja, patung salib, mimbar, altar dan gambar-gambar para kudus adalah simbol kehadiran peristiwa Kristus.

[2] Benda-benda tersebut bukan hanya sebagai hiasan tetapi juga mengandung arti dan dapat membangkitkan emosi. [2] Selain itu benda-benda lain seperti Roti dan Anggur, Air, Minyak, Garam juga digunakan sebagai simbol liturgis. [1] Warna-warna yang biasanya dipakai antara lain warna putih, kuning, merah, hijau, ungu, dan hitam.

Roti dan Anggur, Air, Minyak, Garam merupakan contoh simbol liturgis dari benda alamiah. [1] Selain itu juga warna putih dapat melambangkan sebuah kesempurnaan, kejayaan dan kemuliaan abadi. [1] Selain itu juga dapat menyimbolkan Roh Kudus, cinta kasih, pengorbanan dan kekuatan. [1] Di dalam tradisi Romawi kuno, warna merah digunakan sebagai simbol kekuasaan tertinggi yaitu kaisar.

[1] Warna merah biasanya digunakan ada saat hari raya Jumat Agung, Pentakosta, Minggu Palma. [1] Pada masa-masa itu manusia dapat menghayati hidupnya dengan penuh ketenangan terhadap karya-karya Tuhan. Warna ungu merupakan simbol bagi kebijaksanaan, keseimbangan, sikap berhati-hati dan mawas diri. Warna hitam biasanya dipakai untuk melambangkan kematian, kegelapan,[1] kesedihan dan kedukaan.

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.