Sekian penjelasan dapat saja tidak memadai; mengantar umat manusia sampai pada mengerti tentang Gereja dan hal sekitarnya. Gerejadalam proses perjalanan waktu terus memunculkan dirinya sebagai SakramenDasar (Grund-Sakrament) keselamatan bagi umat manusia dengan bertitik tolak dari dan berpusat pada Kristussebagai Sakramen Utama (Ur-Sakrament). Gereja adalah sarana atau tanda guna menuju keselamatan dengan tetap menjunjung tinggi Kristus sebagai sumber penyelamat satu-satunya. Dalam perkembangan kemudian, defenisi Sakramenyang lazim dipakai adalah sarana-tanda atau bukti nyata kehadiran Allah [Tritunggal] yang melaluinya rahmat mengalir (gratia habitualis/sanctificans) dalam kerja sama dengan tanggapan manusia (iman) guna mencapai keselamatan kekal.
Pertanyaan ini mendapat jawabannya dengan bertolak dari rumusan pernyataan Katekismus GerejaKatholik (KGK), bab II, artikel ke-empat, khususnya pada nomor 1423-1424, dikatakan demikian : KGK.1423: Orang menamakannya SakramenTobat, karena ia melaksanakan secara Sakramental panggilan Yesus untuk bertobat (Bdk.
Mengenal Sakramen-sakramen Penyembuhan dalam Gereja katholik
Sekian penjelasan dapat saja tidak memadai; mengantar umat manusia sampai pada mengerti tentang Gereja dan hal sekitarnya. Gerejadalam proses perjalanan waktu terus memunculkan dirinya sebagai SakramenDasar (Grund-Sakrament) keselamatan bagi umat manusia dengan bertitik tolak dari dan berpusat pada Kristussebagai Sakramen Utama (Ur-Sakrament). Gereja adalah sarana atau tanda guna menuju keselamatan dengan tetap menjunjung tinggi Kristus sebagai sumber penyelamat satu-satunya.
Dalam perkembangan kemudian, defenisi Sakramenyang lazim dipakai adalah sarana-tanda atau bukti nyata kehadiran Allah [Tritunggal] yang melaluinya rahmat mengalir (gratia habitualis/sanctificans) dalam kerja sama dengan tanggapan manusia (iman) guna mencapai keselamatan kekal. Pertanyaan ini mendapat jawabannya dengan bertolak dari rumusan pernyataan Katekismus GerejaKatholik (KGK), bab II, artikel ke-empat, khususnya pada nomor 1423-1424, dikatakan demikian : KGK.1423: Orang menamakannya SakramenTobat, karena ia melaksanakan secara Sakramental panggilan Yesus untuk bertobat (Bdk.
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Untuk tanda suci (objek materi atau tindakan) yang memiliki kemiripan dengan Sakramen, lihat Sakramentali Meskipun tidak semua orang dapat menerima semua sakramen, sakramen-sakramen secara keseluruhan dipandang sebagai sarana penting bagi keselamatan umat beriman, yang menganugerahkan rahmat tertentu dari tiap sakramen tersebut, misalnya dipersatukan dengan Kristus dan Gereja, pengampunan dosa-dosa, ataupun pengkhususan (konsekrasi) untuk suatu pelayanan tertentu. Tetapi kurang layaknya kondisi penerima untuk menerima rahmat yang dianugerahkan tersebut dapat menghalangi efektivitas sakramen itu baginya; sakramen memerlukan adanya iman meskipun kata-kata dan elemen-elemen ritualnya berdampak menyuburkan, menguatkan, dan memberi ekspresi bagi iman (Kompendium Katekismus Gereja Katolik, 224). Penjelasan tiap sakramen tersebut berikut ini terutama didasarkan atas Kompendium Katekismus Gereja Katolik.
Pembaptisan juga membuat penerimanya mengambil bagian dalam imamat Kristus dan merupakan landasan komuni (persekutuan) antar semua orang Kristen. Sakramen ini menandai penerimanya dengan suatu meterai rohani yang berarti orang tersebut secara permanen telah menjadi milik Kristus.
Seperti pembaptisan, penguatan hanya diterima satu kali, dan si penerima harus dalam keadaan layak (artinya bebas dari dosa-maut apapun yang diketahui dan yang belum diakui) agar dapat menerima efek sakramen tersebut. Hanya uskup atau imam yang dapat menjadi pelayan Sakramen Ekaristi, dengan bertindak selaku pribadi Kristus sendiri. Sakramen ini memiliki empat unsur: penyesalan si peniten (si pengaku dosa) atas dosanya (tanpa hal ini ritus rekonsiliasi akan sia-sia), pengakuan kepada seorang imam (boleh saja secara spirutual akan bermanfaat bagi seseorang untuk mengaku dosa kepada yang lain, akan tetapi hanya imam yang memiliki kuasa untuk melayankan sakramen ini), absolusi (pengampunan) oleh imam, dan penyilihan.
Pada awal abad-abad Kekristenan, unsur penyilihan ini sangat berat dan umumnya mendahului absolusi, namun sekarang ini biasanya melibatkan suatu tugas sederhana yang harus dilaksanakan oleh si peniten, untuk melakukan beberapa perbaikan dan sebagai suatu sarana pengobatan untuk menghadapi pencobaan selanjutnya. Baru menderita sakit ataupun makin memburuknya kondisi kesehatan membuat sakramen ini dapat diterima berkali-kali oleh seseorang. Dalam tradisi Gereja Barat, sakramen ini diberikan hanya bagi orang-orang yang berada dalam sakratul maut, sehingga dikenal pula sebagai “Pengurapan Terakhir”, yang dilayankan sebagai salah satu dari “Ritus-Ritus Terakhir”.
Pentahbisan seseorang menjadi imam mengkonfigurasinya menjadi Kristus selaku Kepala Gereja dan Imam Agung, serta menganugerahkan baginya kuasa, sebagai asisten uskup yang bersangkutan, untuk merayakan sakramen-sakramen dan kegiatan-kegiatan liturgis lainnya, teristimewa Ekaristi. Pentahbisan seseorang menjadi diakon mengkonfigurasinya menjadi Kristus selaku Hamba semua orang, menempatkan dia pada tugas pelayanan uskup yang bersangkutan, khususnya pada kegiatan Gereja dalam mengamalkan cinta-kasih Kristiani terhadap kaum papa dan dalam memberitakan firman Allah. Sakramen-sakramen juga invalid jika materia atau forma-nya kurang sesuai dengan yang seharusnya. Syarat terakhir berada di balik penilaian Tahta Suci pada tahun 1896 yang menyangkal validitas imamat Anglikan. Adapun masing-masing Gereja Katolik Ritus Timur, setelah memenuhi syarat-syarat tertentu termasuk berkonsultasi dengan (namun tidak harus memperoleh persetujuan dari) Tahta Suci, dapat menetapkan halangan-halangan (Kitab Hukum Kanonik Gereja-Gereja Timur, kanon 792). Syarat-syarat bagi validitas pernikahan seperti cukup umur (kanon 1095) serta bebas dari paksaan (kanon 1103), dan syarat-syarat bahwa, normalnya, mengikat janji pernikahan dilakukan di hadapan pejabat Gereja lokal atau imam paroki atau diakon yang mewakili mereka, dan di hadapan dua orang saksi (kanon 1108), tidaklah digolongkan dalam Hukum Kanonik sebagai halangan, tetapi sama saja efeknya. Ada tiga sakramen yang tidak boleh diulangi: Pembaptisan, Penguatan dan Imamat: efeknya bersifat permanen. Akan tetapi, jika ada keraguan mengenai validitas dari pelayanan satu atau lebih sakramen-sakramen tersebut, maka dapat digunakan suatu formula kondisional pemberian sakramen misalnya: “Jika engkau belum dibaptis, aku membaptis engkau …”
Sakramen Imamat (Gereja Katolik)
Sehingga seluruh tahbisan dalam Gereja Katolik dapat ditelusuri sejak dari zaman para rasul, yang mana diutus oleh Yesus Kristus sendiri. Perutusan Yesus tersebut dilanjutkan oleh Gereja sampai akhir zaman melalui tahbisan dalam tiga tahap:[2] : uskup (penerus para Rasul) Pentahbisan seseorang menjadi uskup menganugerahkan kegenapan sakramen Imamat baginya, menjadikannya anggota badan penerus (pengganti) para rasul, dan memberi dia misi untuk mengajar, menguduskan, dan menuntun, disertai kepedulian dari semua Gereja. Pentahbisan seseorang menjadi imam mengkonfigurasinya menjadi Kristus selaku Kepala Gereja dan Imam Agung, serta menganugerahkan baginya kuasa, sebagai asisten uskup yang bersangkutan, untuk merayakan sakramen-sakramen dan kegiatan-kegiatan liturgis lainnya, teristimewa Ekaristi.
: pastor (presbiter) Pentahbisan seseorang menjadi imam mengkonfigurasinya menjadi Kristus selaku Kepala Gereja dan Imam Agung, serta menganugerahkan baginya kuasa, sebagai asisten uskup yang bersangkutan, untuk merayakan sakramen-sakramen dan kegiatan-kegiatan liturgis lainnya, teristimewa Ekaristi. Pentahbisan seseorang menjadi diakon mengkonfigurasinya menjadi Kristus selaku Hamba semua orang, menempatkan dia pada tugas pelayanan uskup yang bersangkutan, khususnya pada kegiatan Gereja dalam mengamalkan cinta-kasih Kristiani terhadap kaum papa dan dalam memberitakan firman Allah. Sebab Injil yang harus mereka wartakan, bagi Gereja merupakan asas seluruh kehidupan untuk selamanya.
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Untuk tanda suci (objek materi atau tindakan) yang memiliki kemiripan dengan Sakramen, lihat Sakramentali Meskipun tidak semua orang dapat menerima semua sakramen, sakramen-sakramen secara keseluruhan dipandang sebagai sarana penting bagi keselamatan umat beriman, yang menganugerahkan rahmat tertentu dari tiap sakramen tersebut, misalnya dipersatukan dengan Kristus dan Gereja, pengampunan dosa-dosa, ataupun pengkhususan (konsekrasi) untuk suatu pelayanan tertentu. Tetapi kurang layaknya kondisi penerima untuk menerima rahmat yang dianugerahkan tersebut dapat menghalangi efektivitas sakramen itu baginya; sakramen memerlukan adanya iman meskipun kata-kata dan elemen-elemen ritualnya berdampak menyuburkan, menguatkan, dan memberi ekspresi bagi iman (Kompendium Katekismus Gereja Katolik, 224). Penjelasan tiap sakramen tersebut berikut ini terutama didasarkan atas Kompendium Katekismus Gereja Katolik. Pembaptisan juga membuat penerimanya mengambil bagian dalam imamat Kristus dan merupakan landasan komuni (persekutuan) antar semua orang Kristen. Sakramen ini menandai penerimanya dengan suatu meterai rohani yang berarti orang tersebut secara permanen telah menjadi milik Kristus. Seperti pembaptisan, penguatan hanya diterima satu kali, dan si penerima harus dalam keadaan layak (artinya bebas dari dosa-maut apapun yang diketahui dan yang belum diakui) agar dapat menerima efek sakramen tersebut. Hanya uskup atau imam yang dapat menjadi pelayan Sakramen Ekaristi, dengan bertindak selaku pribadi Kristus sendiri.
Sakramen ini memiliki empat unsur: penyesalan si peniten (si pengaku dosa) atas dosanya (tanpa hal ini ritus rekonsiliasi akan sia-sia), pengakuan kepada seorang imam (boleh saja secara spirutual akan bermanfaat bagi seseorang untuk mengaku dosa kepada yang lain, akan tetapi hanya imam yang memiliki kuasa untuk melayankan sakramen ini), absolusi (pengampunan) oleh imam, dan penyilihan.
Pada awal abad-abad Kekristenan, unsur penyilihan ini sangat berat dan umumnya mendahului absolusi, namun sekarang ini biasanya melibatkan suatu tugas sederhana yang harus dilaksanakan oleh si peniten, untuk melakukan beberapa perbaikan dan sebagai suatu sarana pengobatan untuk menghadapi pencobaan selanjutnya.
Baru menderita sakit ataupun makin memburuknya kondisi kesehatan membuat sakramen ini dapat diterima berkali-kali oleh seseorang. Dalam tradisi Gereja Barat, sakramen ini diberikan hanya bagi orang-orang yang berada dalam sakratul maut, sehingga dikenal pula sebagai “Pengurapan Terakhir”, yang dilayankan sebagai salah satu dari “Ritus-Ritus Terakhir”.
Pentahbisan seseorang menjadi imam mengkonfigurasinya menjadi Kristus selaku Kepala Gereja dan Imam Agung, serta menganugerahkan baginya kuasa, sebagai asisten uskup yang bersangkutan, untuk merayakan sakramen-sakramen dan kegiatan-kegiatan liturgis lainnya, teristimewa Ekaristi. Pentahbisan seseorang menjadi diakon mengkonfigurasinya menjadi Kristus selaku Hamba semua orang, menempatkan dia pada tugas pelayanan uskup yang bersangkutan, khususnya pada kegiatan Gereja dalam mengamalkan cinta-kasih Kristiani terhadap kaum papa dan dalam memberitakan firman Allah. Sakramen-sakramen juga invalid jika materia atau forma-nya kurang sesuai dengan yang seharusnya. Syarat terakhir berada di balik penilaian Tahta Suci pada tahun 1896 yang menyangkal validitas imamat Anglikan.
Adapun masing-masing Gereja Katolik Ritus Timur, setelah memenuhi syarat-syarat tertentu termasuk berkonsultasi dengan (namun tidak harus memperoleh persetujuan dari) Tahta Suci, dapat menetapkan halangan-halangan (Kitab Hukum Kanonik Gereja-Gereja Timur, kanon 792). Syarat-syarat bagi validitas pernikahan seperti cukup umur (kanon 1095) serta bebas dari paksaan (kanon 1103), dan syarat-syarat bahwa, normalnya, mengikat janji pernikahan dilakukan di hadapan pejabat Gereja lokal atau imam paroki atau diakon yang mewakili mereka, dan di hadapan dua orang saksi (kanon 1108), tidaklah digolongkan dalam Hukum Kanonik sebagai halangan, tetapi sama saja efeknya. Ada tiga sakramen yang tidak boleh diulangi: Pembaptisan, Penguatan dan Imamat: efeknya bersifat permanen. Akan tetapi, jika ada keraguan mengenai validitas dari pelayanan satu atau lebih sakramen-sakramen tersebut, maka dapat digunakan suatu formula kondisional pemberian sakramen misalnya: “Jika engkau belum dibaptis, aku membaptis engkau …”
10 Sakramen Dalam Gereja Katolik dan Penjelasannya
Sakramen dalam agama Kristen memiliki makna sebagai sarana penganugerahan rahmat oleh Tuhan kepada orang-orang yang beriman. Babtisan secara umum sebenarnya memberi makna bahwa seseorang telah menerima Kristus, dan percaya mereka akan diselamatkan melalui penebusan-Nya. Selain sebagai pemberian keselamatan, babtisan juga menandakan bahwa kita mau ambil bagian dalam kehidupan-Nya. Perbedaannya hanya pada babtisan darah penyebab seseorang meninggal adalah karena membela imannya.
Awal mula adanya sakramen krisma didasarkan pada pemberian Roh Kudus dalam Kitab Perjanjian Baru. Lalu mengapa dikatakan pengutusan, tentu saja karena mereka akan ditugaskan untuk menyatakan Kristus melalui perbuatan dan imannya.
Ekaristi dalam gereja Katolik rutin dilakukan setiap hari minggu, bahkan bisa juga pada hari-hari biasa. Tidak hanya tangisan dan rasa sesal karena emosi sementara, melainkan mereka juga harus memiliki sikap hati yang mau berubah.
Walaupun memang, setelah manusia melakukan sakramen tobat, bukan berarti mereka tidak akan berdosa lagi, namun yang Allah nilai di sini adalah kesungguhan kita untuk menjauhi perbuatan dosa. Namun, apabila sakramen ini benar-benar dibutuhkan mendesak, maka kita bisa memanggil Romo dan menjadwalkan pertemuan sendiri. Walaupun seseorang telah melakukan sakramen tobat, bukan berarti mereka akan terbebas dari hukuman. Sebenarnya adanya sakramen ini didasarkan oleh tindakan Yesus yang mau menyembuhkan dan mengampuni banyak orang berdosa.
Oleh karena inilah, sakramen pengurapan orang sakit tidak hanya dimaknai sebagai penyembuhan, melainkan juga pengampunan. Selanjutnya, seiring bergantinya abad, terjadi perubahan mendasar makna mengenai sakramen pengurapan orang sakit. Oleh karena itulah dalam ajaran Katolik, pasangan yang sudah menikah tidak boleh bercerai.
Gereja juga enggan untuk melakukan sakramen pernikahan bagi orang yang sudah menikah sebelumnya.
Dalam Kitab Hukum Kanonik, terdapat lima gagasan mengenai tujuan pernikahan, sebagai berikut: Setelah seseorang sudah ditasbihkan melalui sakramen ini, itu tandanya mereka harus membaktikan dirinya sebagai citra Kristus.
Demikian sepuluh sakramen dalam agama Katolik, semoga informasi ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan pembaca.
Be First to Comment