Press "Enter" to skip to content

Sakramen Dalam Gereja Katolik Yang Mengandung Unsur Pertobatan Adalah Sakramen

Orang yang telah dipermandikan ditandai dengan minyak (krisma), tanda kekuatan Roh Kudus, sebelum diutus untuk memperjuangkan cita-cita Kristus dalam Gereja dan masyarakat. Atas karisma-karisma (anugerah) Tuhan ini, orang yang bersangkutan menyadari tanggung jawabnya terhadap sesama. Bakat kemampuan menyatakan karya Roh, yang melalui setiap orang Kristen, menghantar sesamanya kepada Kristus.

Perayaan Syukur atas Kasih Allah Bapa Lewat Pengorbanan Tuhan Yesus Kristus dirayakan setiap kali kita mengikuti Misa atau Sakramen Ekaristi.Pada saat Ekaristi kita mengenang karya penyelamatanYesus Kristus bagi manusia,yang terjadi melalui wafat dan kebangkitan-Nya. Tanda pertobatan di hadapan Tuhan dan sesama itu diterima dalam perayaan sakramen tobat. Selama suatu kesalahan berat belum diampuni, ia tidak dapat ikut serta dalam ibadat umat secara sempurna.

Berkat tanda-tanda suci ini memiliki berbagai buah rohani yang ditandai dan diperoleh melalui doa-doa permohonan dengan perantaraan Gereja. Contoh: pemberkatan ibu hamil atau anak, alat-alat pertanian, mesin pabrik, alat transportasi, rumah, patung, rosario, makanan, dsb.

Pemberkatan atas orang atau benda/barang tersebut adalah pujian kepada Allah dan doa untuk memohon anugerah-anugerah-Nya. Segala macam bentuk devosi ini bersifat sukarela (tidak mengikat/tidak wajib) dan harus bertujuan untuk semakin menguatkan iman kita kepada Allah dalam diri Yesus Kristus. Sakramen, sakramentali dan devosi merupakan rahmat terbesar yang disediakan Allah Bapa melalui gereja-Nya.Oleh Karena itu sebagai umat beriman sudah seharisnya kita menerima sakramen-sakramen tersebut agar kita dapat memperoleh anugerah keselamatan dan perlindungan dari Tuhan.

Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Untuk tanda suci (objek materi atau tindakan) yang memiliki kemiripan dengan Sakramen, lihat Sakramentali Meskipun tidak semua orang dapat menerima semua sakramen, sakramen-sakramen secara keseluruhan dipandang sebagai sarana penting bagi keselamatan umat beriman, yang menganugerahkan rahmat tertentu dari tiap sakramen tersebut, misalnya dipersatukan dengan Kristus dan Gereja, pengampunan dosa-dosa, ataupun pengkhususan (konsekrasi) untuk suatu pelayanan tertentu. Tetapi kurang layaknya kondisi penerima untuk menerima rahmat yang dianugerahkan tersebut dapat menghalangi efektivitas sakramen itu baginya; sakramen memerlukan adanya iman meskipun kata-kata dan elemen-elemen ritualnya berdampak menyuburkan, menguatkan, dan memberi ekspresi bagi iman (Kompendium Katekismus Gereja Katolik, 224).

Penjelasan tiap sakramen tersebut berikut ini terutama didasarkan atas Kompendium Katekismus Gereja Katolik.

Pembaptisan juga membuat penerimanya mengambil bagian dalam imamat Kristus dan merupakan landasan komuni (persekutuan) antar semua orang Kristen. Sakramen ini menandai penerimanya dengan suatu meterai rohani yang berarti orang tersebut secara permanen telah menjadi milik Kristus.

Seperti pembaptisan, penguatan hanya diterima satu kali, dan si penerima harus dalam keadaan layak (artinya bebas dari dosa-maut apapun yang diketahui dan yang belum diakui) agar dapat menerima efek sakramen tersebut. Hanya uskup atau imam yang dapat menjadi pelayan Sakramen Ekaristi, dengan bertindak selaku pribadi Kristus sendiri.

Sakramen ini memiliki empat unsur: penyesalan si peniten (si pengaku dosa) atas dosanya (tanpa hal ini ritus rekonsiliasi akan sia-sia), pengakuan kepada seorang imam (boleh saja secara spirutual akan bermanfaat bagi seseorang untuk mengaku dosa kepada yang lain, akan tetapi hanya imam yang memiliki kuasa untuk melayankan sakramen ini), absolusi (pengampunan) oleh imam, dan penyilihan. Pada awal abad-abad Kekristenan, unsur penyilihan ini sangat berat dan umumnya mendahului absolusi, namun sekarang ini biasanya melibatkan suatu tugas sederhana yang harus dilaksanakan oleh si peniten, untuk melakukan beberapa perbaikan dan sebagai suatu sarana pengobatan untuk menghadapi pencobaan selanjutnya.

Baru menderita sakit ataupun makin memburuknya kondisi kesehatan membuat sakramen ini dapat diterima berkali-kali oleh seseorang. Dalam tradisi Gereja Barat, sakramen ini diberikan hanya bagi orang-orang yang berada dalam sakratul maut, sehingga dikenal pula sebagai “Pengurapan Terakhir”, yang dilayankan sebagai salah satu dari “Ritus-Ritus Terakhir”.

Pentahbisan seseorang menjadi imam mengkonfigurasinya menjadi Kristus selaku Kepala Gereja dan Imam Agung, serta menganugerahkan baginya kuasa, sebagai asisten uskup yang bersangkutan, untuk merayakan sakramen-sakramen dan kegiatan-kegiatan liturgis lainnya, teristimewa Ekaristi. Pentahbisan seseorang menjadi diakon mengkonfigurasinya menjadi Kristus selaku Hamba semua orang, menempatkan dia pada tugas pelayanan uskup yang bersangkutan, khususnya pada kegiatan Gereja dalam mengamalkan cinta-kasih Kristiani terhadap kaum papa dan dalam memberitakan firman Allah.

Sakramen-sakramen juga invalid jika materia atau forma-nya kurang sesuai dengan yang seharusnya. Syarat terakhir berada di balik penilaian Tahta Suci pada tahun 1896 yang menyangkal validitas imamat Anglikan.

Adapun masing-masing Gereja Katolik Ritus Timur, setelah memenuhi syarat-syarat tertentu termasuk berkonsultasi dengan (namun tidak harus memperoleh persetujuan dari) Tahta Suci, dapat menetapkan halangan-halangan (Kitab Hukum Kanonik Gereja-Gereja Timur, kanon 792). Syarat-syarat bagi validitas pernikahan seperti cukup umur (kanon 1095) serta bebas dari paksaan (kanon 1103), dan syarat-syarat bahwa, normalnya, mengikat janji pernikahan dilakukan di hadapan pejabat Gereja lokal atau imam paroki atau diakon yang mewakili mereka, dan di hadapan dua orang saksi (kanon 1108), tidaklah digolongkan dalam Hukum Kanonik sebagai halangan, tetapi sama saja efeknya.

Ada tiga sakramen yang tidak boleh diulangi: Pembaptisan, Penguatan dan Imamat: efeknya bersifat permanen. Akan tetapi, jika ada keraguan mengenai validitas dari pelayanan satu atau lebih sakramen-sakramen tersebut, maka dapat digunakan suatu formula kondisional pemberian sakramen misalnya: “Jika engkau belum dibaptis, aku membaptis engkau …”

Sakramen Tobat (Gereja Katolik)

Vatikan II, Lumen Gentium 11 § 2; KGK 1422)[1] Dengan menerima Sakramen Rekonsiliasi, peniten (sebutan bagi yang melakukan pengakuan, tetapi maknanya tidak sebatas dalam hal ini saja) dapat memperoleh pengampunan atas dosa-dosa yang diperbuat setelah Pembaptisan; karena Sakramen Baptis tidak membebaskan seseorang dari kecenderungan berbuat dosa. Di antara seluruh tindakan peniten, penyesalan (bahasa Inggris: contrition) adalah tahapan pertama. Dipandang dari sisi manusiawi, pengakuan atau penyampaian dosa-dosanya sendiri akan membebaskan seseorang dan merintis perdamaiannya dengan orang lain. Pengakuan di hadapan seorang imam merupakan bagian penting dalam Sakramen Pengakuan Dosa sebagaimana disampaikan dalam Konsili Trente (DS 1680): “Dalam Pengakuan para peniten harus menyampaikan semua dosa berat yang mereka sadari setelah pemeriksaan diri secara saksama, termasuk juga dosa-dosa yang paling rahasia dan telah dilakukan melawan dua perintah terakhir dari Sepuluh Perintah Allah (Keluaran 20:17, Ulangan 5:21, Matius 5:28); terkadang dosa-dosa tersebut melukai jiwa lebih berat dan karena itu lebih berbahaya daripada dosa-dosa yang dilakukan secara terbuka.

Setelah seorang peniten melakukan bagiannya dengan menyesali dan mengakukan dosa-dosanya, maka kemudian giliran Allah melalui Putera-Nya (Yesus Kristus) memberikan pendamaian berupa pengampunan dosa (atau absolusi). [1] Sehingga dalam pelayanan sakramen ini, seorang imam mempergunakan kuasa imamat yang dimilikinya dan ia bertindak atas nama Kristus (In persona Christi).

Rumusan absolusi yang diucapkan seorang imam dalam Gereja Latin menggambarkan unsur-unsur penting dalam sakramen ini, yaitu belas kasih Bapa yang adalah sumber segala pengampunan; kalimat intinya: “… Saya melepaskanmu dari dosa-dosamu …”. Dalam Summa Theologia, Santo Thomas Aquinas mengatakan bahwa rumusan absolusi tersebut adalah berdasarkan kata-kata Yesus kepada Santo Petrus (Matius 16:19) dan hanya digunakan dalam absolusi sakramental –yaitu pengakuan secara pribadi di hadapan seorang imam.

Menurut KGK 1459, kebanyakan dosa-dosa yang diperbuat seseorang menyebabkan kerugian bagi orang lain. Setelah pendosa diampuni dari dosanya, ia harus memulihkan kesehatan spiritualnya dengan melakukan sesuatu yang lebih untuk menebus kesalahannya; pendosa yang telah diampuni tersebut harus “melakukan silih”, atau biasa disebut penitensi. Penitensi tersebut dapat terdiri dari doa, derma, karya amal, pelayanan terhadap sesama, penyangkalan diri yang dilakukan secara sukarela, berbagai bentuk pengorbanan, dan terutama menerima salib yang harus dipikulnya dengan sabar. perdamaian (rekonsiliasi) dengan Gereja dan Allah, di mana peniten memperoleh kembali rahmat yang sebelumnya hilang akibat dosa

[6] Namun ada pengecualian bahwa jika peniten berada dalam bahaya maut (kematian), setiap imam walaupun tanpa kewenangan dapat memberikan absolusi secara sah. Namun biasanya di dalam ruang atau bilik pengakuan disediakan teks panduan mengenai apa yang harus dilakukan peniten, terutama pada suatu pengakuan terjadwal –misalnya pada masa Pra-Paskah dan masa Adven. Menurut Kanon 844 §2, umat Katolik diperkenankan menerima Sakramen Rekonsiliasi dari pelayan yang bukan dari Gereja Katolik jika membuatnya mendapatkan manfaat rohani yang nyata dan ia berada dalam keadaan mendesak. Setiap umat yang telah mencapai usia yang dianggap mampu untuk membuat pertimbangan dan bertanggung jawab atas tindakannya, diwajibkan untuk dengan setia mengakukan dosa-dosa beratnya melalui Sakramen Rekonsiliasi minimal satu kali dalam setahun. [8] Perintah kedua dari “Lima perintah Gereja” juga menyebutkan mengenai kewajiban seseorang untuk mengakukan dosa-dosanya minimal sekali setahun untuk menjamin penerimaan Hosti Kudus secara layak dalam Perayaan Ekaristi, yang mana merupakan kelanjutan dari pertobatan dan pengampunan yang telah diterima dalam Pembaptisan. Walaupun tidak diwajibkan, pengakuan atas dosa-dosa ringan yang dilakukan sehari-hari sangat dianjurkan oleh Gereja.

Pengakuan dosa-dosa ringan secara teratur membantu seseorang dalam membentuk hati nurani yang baik dan melawan kecenderungan yang jahat; seseorang membiarkan dirinya disembuhkan oleh Kristus dan bertumbuh dalam hidup rohaninya. Kewajiban menyimpan rahasia sakramental juga berlaku pada penerjemah, jika ada, dan semua orang lain yang dengan cara apapun memperoleh pengetahuan mengenai dosa-dosa dari suatu Pengakuan Dosa.

Sakramen ada 7 sebutkan dan jelaskan artinya!!!​

Arti sakramen krisma adalah penguatan jiwa dan janji kita pada Allah. Ari sakramen imamat adalah pernyataan kaul kekal untuk menggantikan Yesus membimbing umatNya.

Sakramen adalah tanda kehadiran dan keselamatan dari Allah yang dapat menguduskan jiwa seseorang.

Untuk mendapatkan komuni pertama, umat harus melalui tahapan pendidikan agama katolik terlebih dahulu. Ditandai dengan pengakuan di hadapan imam sebagai wakil dari Bapa untuk membersihkan jiwa. Kita juga dapat melakukan pertobatan sebelum menghadapi upacara penting, seperti menerima sakramen krisma, pernikahan atau kelahiran anak. Ditandai dengan pengurapan minyak sebagai penguatan tanda materai Allah dan roh kudus dalam diri. Sakramen yang hanya diberikan kepada calon imam oleh uskup di gereja setempat. Ditandai dengan pengucapan kaul calon imam yang berjanji akan setia menjadi pengganti Yesus untuk melayani umat Allah.

Mengenal Sakramen-sakramen Penyembuhan dalam Gereja katholik

Sekian penjelasan dapat saja tidak memadai; mengantar umat manusia sampai pada mengerti tentang Gereja dan hal sekitarnya. Gerejadalam proses perjalanan waktu terus memunculkan dirinya sebagai SakramenDasar (Grund-Sakrament) keselamatan bagi umat manusia dengan bertitik tolak dari dan berpusat pada Kristussebagai Sakramen Utama (Ur-Sakrament). Gereja adalah sarana atau tanda guna menuju keselamatan dengan tetap menjunjung tinggi Kristus sebagai sumber penyelamat satu-satunya.

Berhadapan dengan kenyataan menurunnya frekuensi pengakuan umat serta ketakutan-ketakutan terhadap SakramenPengurapan Orang Sakit, maka dalam rangka ini, penulis menguraikannya dengan refleksi yang berdasar pada Alkitab, serta dokumen-dokumen Gereja lainnya.

Dari kata mysterion/musterionini dimunculkan dua istilah pula dalam bahasa Latin yakni mysteriumdan sacramentum.Singkatnya Sakramen adalah tanda yang kelihatan sekaligus untuk menyingkapkan karya keselamatan yang tetap bernilai misteri; tak kelihatan itu. Dalam perkembangan kemudian, defenisi Sakramenyang lazim dipakai adalah sarana-tanda atau bukti nyata kehadiran Allah [Tritunggal] yang melaluinya rahmat mengalir (gratia habitualis/sanctificans) dalam kerja sama dengan tanggapan manusia (iman) guna mencapai keselamatan kekal.

Pertanyaan ini mendapat jawabannya dengan bertolak dari rumusan pernyataan Katekismus GerejaKatholik (KGK), bab II, artikel ke-empat, khususnya pada nomor 1423-1424, dikatakan demikian : KGK.1423: Orang menamakannya SakramenTobat, karena ia melaksanakan secara Sakramental panggilan Yesus untuk bertobat (Bdk.

Orang menamakannya Sakramen pengampunan, karena oleh absolusi imam, Kristus menganugerahkan secara Sakramental kepada orang yang mengakukan dosanya “pengampunan dan kedamaian”.Orang menamakannya Sakramen perdamaian, karena ia memberi kepada pendosacinta Allah yang mendamaikan: “Berilah dirimu didamaikan dengan Allah” (2 Kor 5:20).

Manusia pada mulanya telah jatuh ke dalam dosa oleh peyelewengan kehendak bebasnya(Kej.3-4:1-16). Kecerobohan ini akhirnya berkonsekuensi kekal akan adanya dosa asal dalam sejarah hidup umat manusia. Allah selalu hadir dalam situasi yang tidak memaksa sehingga kemudian salah ditafsir oleh umat manusia dengan penggunaan kehendak bebas sebebas-bebasnya.

Selama manusia masih sebebas-bebasnya dalam penggunaan kehendaknya memang tidak pernah bebas dari dosa. Dosa menurut defenisi Kamus Alkitab adalah tindakan manusia secara perorangan ataupunbersama-sama menyimpang dari kehendak dan hukum Allah. Dosa ringan adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan bisa saja secara tidak sengajadan dapat melemahkan kehendak dan pengampunannya dapat saja melalui doa-doa tobat pribadi serta penyesalan penuh pasrah secara pribadi di hadapan Allah.

Orang yang berdosa dan mengaku dosanya kepada seorang pastor atau uskup, disebut peniten.

Tindakan pengakuanberupa penyesalan akan dosa, kepada dia diberi nasehat oleh pelayan, diberikan penitensi atau doa pengampunan setelah itu ditutup dengan berkat absolusi. Perlu dipahami di sini bahwa tindakan penyesalan dosa tidak boleh sampai pada merasa bersalah yang berlebihan, mengutuk diri sebagai yang tidak akan pernah layak di hadapan Allah.Menyesali dosa tetapi bukan mengutuk diri.

Akan sangat mulia jika dosa-dosa itu diakui dan disesali penuh dengan rendah hati serta terbuka, maka imam yangbertindak in persona christiitu dengan daya dorong Trinitaris akan menyampaikan nasehat-nasehat yang menyenangkan dan menyembuhkan. Di sana terjadi pertobatan tanpa harus seseorang terpenjara dalam konsep pengutukan diri.

Ketika seseorang pergi untuk mengaku dosanya atas daya dorong bebas dan penuh kejujuran maka inilah sebuah pengakuan yang sahdalam kerja sama bersama imam dalam bingkai Tritunggal.

Di sinilah akan terjadi pengampunan oleh rahmat Allah melalui berkat absolusi seorang imam.

Seusai mengaku dosa setiap umat manusia harus menghayati spiritualitas pengampunan dalam hidupnya yang terpancar melalui; senantiasa memperbaharui diri dan menyerahkan seluruh kehendak dan pikiran dalam terang kasih Allah. Tetapi bukan dengan itu maka manusia harus semakin bertindak untuk berbuat dosa.

Bahwa kekekalan manusia yang paling mulia adalah tak layak dan terbatas di hadapan Allah, tetapi itu juga tidak berarti bahwa dengan sendiri manusia merasakan berbuat dosa sebagai suatu keharusan yang harus. Pengampunan dosa ini pun menuntut manusia untuk semakin betobat secara internal dan eksternal. Melalui SakramenTobat kita akan disembuhkan secara bathiniah, dibebaskan dari rasa bersalah yang berlebihan.

Allah yang Maha Pengampun itu telah mengutus Putera-Nya untuk menebus manusia dari dosa.

Ketidaktahuan akan jaminan rahasia pengakuan dapat saja berimbas pada ketidakmauan untuk mengaku.Jika kita tidak tahu apakah pengakuan itu akan dirahasiakan oleh para pelayan klerus, maka bisa saja muncul ketakutan dan ketidakmauan untuk mengaku. KGK 2490: Rahasia Pengakuan itu kudus dan dengan alasan apa pun tidak boleh dilanggar. “Rahasia Sakramental tidak dapat diganggu gugat; karena itu adalah durhaka jika bapaPengakuan dengan kata-kata atau dengan salah satu cara lain serta atas dasar apa punsedikit banyak mengkhianati peniten” Rahasia Sakramental tidak dapat diganggu gugat; karena itu sama sekali tidak dibenarkan bahwa bapa pengakuan dengan kata-kata atau dengan suatu cara lain serta atas dasar apapun mengkhianati peniten sekecil apapun.§ 2.Terikat kewajiban menyimpan rahasia itu juga penerjemah, jika ada, serta semua orang lain yang dengan cara apapun memperoleh pengetahuan mengenai dosa-dosa dari pengakuan.

Bapa pengakuan, yang secara langsung melanggar rahasia Sakramental, terkena latae sententiaeyang direservasi bagi Takhta Apostolik; sedangkan yang melanggarnya hanya secara tidak langsung, hendaknya dihukum menurut beratnya tindak pidana.

Uraian-uraian di atas dapat memberikan jawaban terhadap kecemasan kita akan sejauh mana terjaminnya peniten dengan dosa yang diakuinya. Sebagaimana Allah senantiasa menyelamatkan umat manusia melalui karya-karya rahasia-Nya (misteri), sedemikian itu mereka yang dipercayakan untuk membebaskan umat manusia dari belenggu dosa hendaknya bertindak seturut rahasia-rahasia Allah yang telah ada itu. Perincian materia, forma, pelayan, penerima dan rahmat yang dihasilkan dalam perayaan Sakramen tobat :

8:12 ; Kemudian dituangkannya sedikit dari minyak urapan itu ke atas kepala Harun dan diurapinyalah dia untuk menguduskannya. 5:14 ; Kalau ada seorang di antara kamu yang sakit, baiklah ia memanggil para penatua jemaat, supaya mereka mendoakan dia serta mengolesnya dengan minyak dalam nama Tuhan. Kemudian dituangkannya sedikit dari minyak urapan itu ke atas kepala Harun dan diurapinyalah dia untuk menguduskannya. Kalau ada seorang di antara kamu yang sakit, baiklah ia memanggil para penatua jemaat, supaya mereka mendoakan dia serta mengolesnya dengan minyak dalam nama Tuhan. Dari pendasaran beberapa ayat Kitab Suci ini, sudah sangat jelas ditemukan sejarah adanya pengurapan orang-orang sakit dengan minyak.Dalam Perjanjian Lama, pengurapan adalah tanda hadirnya Allah; memberikan kekuatan pengudusan kepada orang yang terurapi. Dalam dokumen Gereja ini ditemukan pernyataan yang menarik tentang Sakramen Pengurapan Orang Sakit. Dengan uraian dokumen-dokumen ini maka jelaslah bahwa SakramenPengurapan Orang Sakit bertujuan bagi mereka yang berada pada ambang kematian, mereka yang mendekati maut karena menderita penyakit tertentu dan bagi mereka yang sudah lanjut usia (lansia).Dapat menyembuhkan secara bathiniah dan secara fisik (jika mukjizat dapat terjadi).Memberikan kekuatan bathin dan ketabahan sehingga mampu melihat penderitaan sebagai sebuah proses penebuasan dosa umat manusia. Minyak yang digunakan untuk mengurapi orang sakit dalam GerejaKatholik disebut dengan nama Oleum Infirmorum (OI).

Penggunaan minyak dalam liturgi kristiani melambangkan daya kuasa Allah yang menyembuhkan dan senantiasa memberikan kekuatan bagi hidup kita.

Penggunaan minyak dalam liturgi kristiani melambangkan daya kuasa Allah yang menyembuhkan dan senantiasa memberikan kekuatan bagi hidup kita. Perincian materia, forma, pelayan, penerima dan rahmat yang dihasilkan dalam perayaan Sakramen pengurapan orang sakit: Orang yang sudah dibaptis, sedang menderita sakit dan kemungkinan terancam bahaya mati.

Penganugerahan Roh Kudus untuk mempersatukan orang yang sakit dengan Kristus, membebaskannya dari dosa, menguatkan harapan akan keselamatan, dan memberikan ketabahan hati dalam penderitaan. Banyak pertanyaan dan pernyataan yang berkembang dalam kalangan kehidupan umat Katholik kini. Secara khusus terhadap pelayanan Sakramen-sakramen penyembuhan dapat dijelaskan dengan dua konsep di bawah ini : Secara khusus terhadap pelayanan Sakramen-sakramen penyembuhan dapat dijelaskan dengan dua konsep di bawah ini : Ex opere operato

Hal ini berarti Rahmat Allah turun dan berkarya secara bebas tidak bergantung pada kondisi pribadi pelayan yang sedang melakukan pelayanan itu. Maka adalah keliru jika Sakramen yang kudus itu ditolak atau dilalaikan hanya karena persoalan praktis tentang para pelayan. Katekismus GerejaKatholik (KGK)1128: Inilah arti dari ungkapan Gereja, bahwa Sakramen-sakramenbekerja ex opere operato [secara harafiah: “atas dasar kegiatan yang dilakukan”].Artinya, mereka berdaya berkat karya keselamatan Kristus yang dilaksanakan satukali untuk selamanya. Dalam pelayanan sakramen diperlukannya tanggapan manusia berupa disposisi bathin yang layak dan murni.

Hendaklah siapa yang melakukan setiap sakramen, dilakukannya dalam keadaan hati terbuka, tulus dan murni.

Kekuatan Roh Kudus tidak menjamin semua perbuatan pejabat dalam cara yang sama. Sementara jaminan diberikan pada Sakramen-sakramen bahwa keadaan berdosa dari pemberi tidak dapat menghalang-halangi buah-buah rahmat, ada juga banyak tindakan lain, padanya para pelayan itu meninggalkan noda-noda kelemahan manusiawi yang tidak selalu menjadi tanda kesetiaan kepada Injil dan karena itu dapat merugikan kesuburan Gereja yang apostolik. Juga perlu dipahami bahwa rahmat yang dikaruniakan oleh Allah itu secara khusus kepada pelayan, dalam pelayan kedua sakramen yang dimaksud, sama sekali tidak menghilangkan kemanusiaan [kelemahan manusiawi]-nya.

Diakui akan adanya Gratia Gratis Data (rahmat Allah berkarya secara gratis dan universal untuk kita semua karena kasih dan inisiatif bebas-Nya)tetapi juga perlu dipahami bahwa dibutuhkannya juga pemahaman akan Gratia Supponit Naturam (rahma mengandaikan kodrat. Seperti yang ada dalam Dokemen Konsili Vatikan II, secara khusus Konstitusi Sacrosantum Concillium (tentang Liturgi Suci), bahwa Sakramen pengurapan orang sakit dapat ditujukan kepada mereka yang sudah lanjut usia karena itu membutuhkan kekuatan untuk bertahan dalam hidup, bagi mereka yang sedang dalam keadaan bahaya mati; bagi mereka yang karena kritis kesehatan, menderita penyakit tertentu dan berada dalam keadaan bahaya mati. Kepada mereka inilah Sakramen ini ditujukan dan diberikan oleh seorang pelayan klerus (imam), kapan saja dan sejauh dapat dihubungi, pada tempat mana saja jika tidak memungkinkan untuk menemukan tempat yang layak. Dengan penjelasan-penjeladan di atas maka jelaslah bahwa menggugurkan semua kecurigaan-kecurigaan terhadap kedua Sakramen itu.

Hal ini mengandung arti bahwa yang hanya tahu adalah pastor pelayan, peniten dan Tuhan. Kita telah melewati penjelasan yang cukup panjang tentang Sakramen-sakramen penyembuhan dalam GerejaKatholik.

Demikianlah tulisan ini, diyakini bahwa masih terdapat begitu banyak pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataan yang mengitari dalam kehidupan mengGereja. Karena itu jika masih tetap terjadi kebibungan bahkan menuju kepada bahaya murtad maka pergilah ke parokimu dan mintalah penjelasan pada para pastormu.

Seorang imam yang bertindak atas nama Kristus (In Persona Christi-Alter Christi)sehingga rahmat itu tetap berkarya – berkuasa terhadap setiap manusia.

Dalam konteks ini dapat terlepas dari kesucian dan kelemahan manusiawi seorang pelayan klerus. Artinya rahmat Allah yang berkarya itu pun kemurniannya bergantung juga kepada kemurnian dan kesaksian hidup seorang pelayan klerus. Karena hanya di dalam gereja dan perangkatnyalah kita dapat secara resmi merayakan sakramen-sakramen itu.

Kitab Hukum Kanonik berisi petunjuk-petunjuk atau norma-norma untuk kehidupan umat Gereja Katholik Roma. Semua unsur tanda yang nyata, berbentuk materi, dapat dijangkau secara inderawi dan dengan fisik manusia.

7 Sakramen dalam Gereja Katolik / the 7 Sacraments in the Catholic Church

Yohanes 3:5 “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah” pada ayat ini Yesus menekankan pentingnya Babtis sebagai jalan untuk masuk dalam Kerajaan Allah. karena hubungan yang erat antara Roh Kudus dan Babtisan sehingga ketika Paulus berbicara mengenai babtisan ia tidak menyebut Roh Kudus “Atau tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya?

Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru.” (Roma 6:3-4).

Menurut kami kata “keluar dari air” tidak menunjukkan berapa banyak bagian tubuh yang terendam.

ada hal yang menarik bahwa Lukas 11:38 “Orang Farisi itu melihat hal itu dan ia heran, karena Yesus tidak mencuci tangan-Nya sebelum makan” kata “Mencuci” dalam Lukas 11:38 dalam bahasa Yunani babtizo tetapi dalam hal ini tentu bukan kata menenggelamkan, tetapi mungkin hanya mencelupkan (dalam tradisi yahudi ada tempayan yang digunakan untuk pembasuhan sebelum besantap) tetapi rasanya tidak etis dan tidak higienis jika seseorang mencelupkan tangannya (yang kotor) kedalam tempayan itu (sementara tempayan itu digunakan untuk pembasuhan tidak hanya untuk satu orang) tentunya orang akan mengambil gayung dan mengambil air dari tempayan itu lalu mengucurkannya ke tangan. Dalam Dokumen Konsili Vatikan II Lumen Gentium No 16 dikatakan bahwa “Mereka yang tanpa bersalah tidak mengenal injil Kristus serta Gereja-Nya, tetapi dengan tulus hati mencari Allah, dan berkat pengaruh rahmat berusaha melaksanakan kehendak-Nya yang mereka kenal melalui suara hati dengan perbuatan nyata, dapat memperoleh keselamatan kekal.”. sekilas ajaran itu bertentangan dengan 1 Tim 2:5 “Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus” ajaran Konsili Vatikan II menegaskan bahwa mereka “yang tanpa bersalah tidak mengenal injil Kristus” bisa selamat didasarkan karena Yesus menjadi tebusan bagi semua orang (lihat Mat 20:28; Mrk 10:45; 1Tim 2:6). Ajaran Konsili Vatikan II juga tidak bertentangan dengan Mrk 16:15 dan Yoh 3:18 karena menurut pendapat kami (yang bisa saja salah) Mrk 16:15 dan Yoh 3:18 tidak perlu ditafsirkan secara harafiah dalam arti yang ketat kedua ayat itu menekankan tentang perlunya iman dan babtisan agar orang dapat selamat, namun bagi “yang tanpa bersalah tidak mengenal injil Kristus” masakah mereka juga harus dihukum?.

Seperti sebuah karya seni yang telah diperbaiki, difernis sampai beberapa kali dan kadang kala sedikit disalahgunakan, ritus Sakrament Pembaptisan dalam Gereja Kristen juga telah mengalami perubahan selama berabad-abad dengan alasan dan latar belakang tertentu.

Karena ritus pembaptisan seperti ini dirasa lebih efektif mengungkapkan peristiwa “kelahiran baru” seseorang ke dalam Karajaan Allah yang dimasukinya melalui Sakramen Permandian. Tapi demi alasan praktis, Gereja tetap diijinkan untuk memakai ritus pembaptisan sederhana dengan “menuangkan sedikit air pada kepala”. Untuk lebih mamahami hal ini, mari kita kembali menengok sejarah Gereja seputar ritus sakramen permandian.

Dalam bab pertama Injil Markus, seperti telah diramalkan Nabi Yesaya, Yohanes Pembaptis tampil di padang gurung sambil memaklumkan sebuah “pembaptisan pertobatan” demi pengampunan atas dosa. Lima belas bab kemudian, pada bagian akhir dari Injilnya, Penginjil Markus kembali mencatat kata-kata terakhir Yesus kepada kesebelas rasul (dikurangi Yudas Iskariot yang telah mengkianati Yesus): “Pergilah ke seluruh bumi dan wartakanlah Injil…Barangsiapa percaya dan dibaptis akan diselamatkan.” Tapi ahli sejarah Gereja berpendapat bahwa kemungkinan besar seorang calon permandian berdiri di air sungai atau di sebuah kolam umum, dan kemudian air dituangkan ke atas kepalanya, sambil ditanyakan kepadanya: Apakah saudara (saudari) percaya kepada Allah Bapa? Ia mulai menyebut adanya “pengurapan” minyak suci, “tanda salib” dan “penumpangan tangan” atas calon permandian. Sebelum Kaisar Romawi Konstantinus mengumumkan pada tahun 313 bahwa Gereja Kristen bukan lagi sebuah agama ilegal, maka setiap orang, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak yang menggabungkan diri menjadi orang Kristen dipandang sebagai sebagai penjahat dan dihukum dengan sangat keji. Orang Romawi pada masa itu mempunyai agama sendiri dengan pusat kultus penyembahan kepada dewa-dewi. Kemungkian besar Gereja waktu itu menyusun sebuah proses perkenalan kepada orang yang baru bergabung ke dalam komunitas umat beriman. Gereja (umat beriman) butuh waktu untuk mengenal dan percaya kesungguhan hati setiap calon permandian sebelum mereka dipermandikan (sama seperti si calon permadian juga butuh waktu untum memperlajari lebih tentang Gereja yang merupakan agama “di bawah tanah” pada masa itu).

Pada waktu itu, masa katekumen (dari bahasa Yunani yang berarti “instruction” atau pelajaran) terdiri atas dua bagian.

Bagian pertama adalah sebuah “masa persiapan rohani” yang berlangsung selama kurang lebih tiga tahun. Kemudian si calon dibawa ke depan uskup dan para imam, sementara sang sponsor ditanyai. Setelah Liturgi Sabda (sesudah homili) seorang calon permandian diminta untuk meninggalkan Gereja atau tempat berlangsungnya perayaan misa kudus.

Puncak dari upacara itu dimulai pada Hari Kamis Suci dengan sebuah wadah pemandian sebagai sarana penyucian rohani. Peristiwa “penanggalan pakaian” ini melambakan “penanggalan manusia lama dari seseorang” (taking off the old self) dan kembali ke keadaan murni taman Eden sebelum munusia pertama jatuh ke dalam dosa dan lebih dari itu ada kepercayaan orang pada masa itu bahwa roh-roh jahat sering melekat pada pakaian seseorang seperti kutu busuk. Lalu dalam keadaan telanjang dan terpisan menurut jenis kelamin, para calon dihantar ke tempat permandian.

Untuk pertama kali, orang yang baru dibaptis mengambil bagian secara penuh dalam seluruh misa dan menerima Komuni Kudus.

Para ahli Kitab Suci mengandaikan bahwa ketika “seluruh rumahtangga” dipermandikan, permandian itu termasuk anak-anak, bahkan yang paling kecil sekalipun (bayi). Tapi sekali lagi, oleh karena perkembangan refleksi iman/teologi, seperti penjelasan St. Agustinus tentang Dosa Asal pada abad V, yang akhirnya membuat permandian bayi menjadi amat populer dan dominan.

Dalam keadaan seperti itu, sebuah ritus (tata upacara) yang lebih sederhana, praktis dan cepat, amat dibutuhkan. Sampai pada akhir abad VIII, upacara permandian yang sebelumnya panjang dan berlangsung selama berminggu-minggu telah dibuat sangat singkat. Anak-anak menerima upacara pengusiran roh jahat selama tiga kali pada minggu-minggu sebelum Paska dan Sabtu Suci. Sebelum awal abad XI sejumlah uskup mengingatkan bahwa bayi kemungkian besar selalu berada dalam bahaya kematian yang tiba-tiba dan karena itu mereka mendorong para orangtua untuk tidak menunggu sampai perayaaan besar pada Hari Sabtu suci untuk mempermandikan bayi-bayi mereka.

Seiring dengan perjalanan sejarah, dan ritus pendek permandian yang semula disusun khusus hanya untuk bayi-bayi, yang berada dalam bahaya kematian, menjadi begitu universal, ritus permandian Gereja perdana (abad I sampai III) semakin lama semakin dilupakan. Hasilnya adalah bahwa pada tahun 1969, sebuah ritus Pembaptisan untuk anak-anak (bayi), yang telah direvisi, diterbitkan.

Setelah beberapa dekade berlalu, kita perlahan-lahan kembali kepada simbol-simbol, drama dan spiritutalitas komunal umat beriman yang merupakan ciri khas pembaptisan pada abad-abad pertama sejarah Gereja yang dirasa lebih efektif mengungkapkan makna permandian sebagai tanda kelahiran baru ke dalam Kerajaan Allah di dalam Yesus Kristus, sambil tetap mengakui keabsahan pembaptisan dengan ritus yang sederhana dan singkat. Karena biar bagaimanapun bentuk, panjang atau pendeknya ritus Sakramen Permandian, hakekatnya tetapi sama dan sah sebagai tanda kelahiran baru. Kita tahu bahwa babtisan itu melahirbarukan dan menghapus dosa asal (lihat artikel Sakramen Babtis) oleh karena itulah Gereja tidak melarang bayi dibabtis.

Bila kita melihat dalam Perjanjian Lama dimana kita tahu bahwa bayi harus disunat (padahal mereka tidak tahu apa-apa soal iman) lihat pada Kej 17:12, Im 2:21, Luk 2:21 lalu pada Kolose 2:11-12 “Dalam Dia kamu telah disunat, bukan dengan sunat yang dilakukan oleh manusia, tetapi dengan sunat Kristus, yang terdiri dari penanggalan akan tubuh yang berdosa, karena dengan Dia kamu dikuburkan dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga oleh kepercayaanmu kepada kerja kuasa Allah, yang telah membangkitkan Dia dari orang mati.” disin jelas bahwa Paulus mempararelkan antara Sunat (Ayat 11) dengan Babtisan (ayat 11b-12) kita tahu bahwa hukum sunat berlaku juga untuk anak (bayi) berarti babtispun demikian.

Pada abad ke II sudah ditemukan Babtisan bayi seperti St. Polikarpus, misalnya, dibunuh sebagai martir pada tahun 155 M. Pada saat penguasa Romawi memaksa Polikarpus untuk menyangkal Yesus Kristus dan untuk menyembah kaisar Roma, ia berseru demikian, “Delapan puluh enam tahun saya menjadi hamba-Nya, dan Ia tidak pernah berbuat yang tidak baik kepadaku, bagaimana mungkin saya dapat menghojat Rajaku yang telah menebusku?” Kesaksian ini berarti bahwa Polikarpus dibaptis sejak ia masih bayi atau kanak-kanak, yakni sekitar tahun 70-an. For the Apostles, to whom were committed the secrets of divine mysteries, knew that there is in everyone the innate stains of sin, which must be washed away through water and the Spirit” (Origen, Commentary on Romans 5, 9).

1.Injil Matius bab 26:26-29 dimana pada saat merayakan perjamuan terakhir Yesus berkata “AMBILLAH, MAKANLAH, INILAH TUBUH-KU” & “MINUMLAH, KAMU SEMUA DARI CAWAN INI. Dalam pandangan Gereja Katolik, roti maupun anggur berubah sepenuhnya menjadi Yesus Kristus secara keseluruhan, baik Tubuh, Darah, Jiwa, dan Keallahan-Nya.

Ketika hosti yang telah dikonsekrasi ditelan ataupun larut dalam air maka itu bukan lagi Tubuh dan Darah Kristus.

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.