kanon: contoh masukan no kanon: 17,257,626-637 KITAB SUCI + Deuterokanonika Kejadian Keluaran Imamat Bilangan Ulangan Yosua Hakim-Hakim Rut 1 Samuel 2 Samuel 1 Raja-Raja 2 Raja-Raja 1 Tawarikh 2 Tawarikh Ezra Nehemia Tobit Yudit Ester Ayub Mazmur Amsal Pengkhotbah Kidung Agung Kebijaksanaan Sirakh Yesaya Yeremia Ratapan Barukh Yehezkiel Daniel Hosea Yoel Amos Obaja Yunus Mikha Nahum Habakuk Zefanya Hagai Zakharia Maleakhi 1 Makabe 2 Makabe Matius Markus Lukas Yohanes Kisah Para Rasul Roma 1 Korintus 2 Korintus Galatia Efesus Filipi Kolose 1 Tesalonika 2 Tesalonika 1 Timotius 2 Timotius Titus Filemon Ibrani Yakobus 1 Petrus 2 Petrus 1 Yohanes 2 Yohanes 3 Yohanes Yudas Wahyu : – Pilih kitab kitab, masukan bab, dan nomor ayat yang dituju Katekismus Gereja Katolik No. Dokumen KV 2 Pilih Dokumen PUMR Redemptionis Sacramentum Musicam Sacram Pedoman Pastoral Misa Dengan Anak-Anak Dominus Iesus Dominum Et Vivificantem Ad Gentes Apostolicam Actuositatem Christus Dominus Dei Verbum Dignitatis Humanae Gaudium Et Spes Gravissimum Educationis Inter Mirifica Lumen Gentium Nostra Aetate Optatam Totius Orientalium Ecclesiarum Perfectae Caritatis Presbyterorum Ordinis Sacrosanctum Concilium Unitatis Redintegratio Ethics in Communications
yang dikehedaki – 0 (nol) untuk melihat daftar isi -(catatan kaki lihat versi Cetak)
Kitab Hukum Kanonik – KomKat KWI
Kitab Hukum Kanonik (KHK) atau Codex Iuris Canonici, merupakan salah satu buku penting yang memuat peraturan/norma bagi semua umat Katolik. Sebagai sebuah kitab hukum, maka tentu saja bahasa yang digunakan bersifat legal-formal dan padat berisi.
Kita bersyukur bahwa buku KHK terus diterjemahkan kembali mengikuti perkembangan bahasa dan kebutuhan, yaitu dari hanya untuk kalangan tertentu dalam Gereja (eksklusif), meluas kepada kebutuhan umat pada umumnya (inklusif). Karena itu, perjanjian-perjanjian tersebut masih tetap berlaku seperti sekarang, walaupun bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Kitab Hukum ini.
Kebiasaan-kebiasaan, baik universal maupun par-tikular, yang berlaku sampai sekarang dan bertentangan dengan ketentuan-ketentuan kanon-kanon ini serta ditolak oleh kanon-kanon Kitab Hukum ini, dinyatakan hapus sama sekali dan selanjutnya jangan dibiarkan hidup kembali; juga yang lain-lain hendaknya dinyatakan hapus, kecuali Kitab Hukum ini dengan jelas menyatakan lain, atau sudah berumur lebih dari seratus tahun, atau tidak diingat lagi awal-mulanya, yang menurut penilaian Ordinaris dapat dibiarkan, mengingat keadaan tempat dan orang-orangnya, tidak dapat ditiadakan. 40 juga undang-undang disipliner universal lain, yang bahannya secara menyeluruh telah diatur oleh Kitab Hukum ini.
Undang-undang gerejawi universal diundangkan dengan diterbitkannya dalam lembaran Acta Apostolicae Sedis, kecuali untuk kasus tertentu cara pengundangannya ditentukan lain. Undang-undang itu baru mulai mempunyai kekuatan setelah tiga bulan, terhitung dari tanggal yang tercatat pada nomor Acta itu, kecuali dari hakikatnya serta-merta mengikat atau dalam undang-undang itu sendiri secara khusus dan jelas ditentukan masa tenggang yang lebih pendek atau lebih panjang.
Undang-undang partikular tidak diandaikan bersifat personal melainkan teritorial, kecuali ditentukan lain.
Pengembara terikat oleh undang-undang baik universal mau-pun partikular, yang berlaku di wilayah tempat mereka berada. Kan. 19 – Jika mengenai hal tertentu tidak ada ketentuan jelas dari undang-undang, baik universal maupun partikular, atau tidak ada juga kebiasaan, maka hal itu, kecuali mengenai hukuman, harus diselesaikan dengan memperhatikan undang-undang yang diberikan dalam kasus-kasus yang mirip, prinsip-prinsip yuridis umum yang diterapkan dengan kewajaran kanonik, yurisprudensi dan praksis Kuria Roma, dan pendapat yang umum dan tetap dari para ahli. Tiada kebiasaan dapat memperoleh kekuatan undang-undang, kalau bertentangan dengan hukum ilahi.
Mengenai pengundangan dan masa tenggang dekret-dekret yang disebut dalam § 1, hendaknya ditepati ketentuan-ketentuan kan. 8. Dekret-dekret umum eksekutif, biarpun dikeluarkan dalam pedoman-pedoman atau dalam dokumen-dokumen dengan nama lain, tidak mengurangi undang-undang, dan ketentuan-ketentuannya yang bertentangan dengan undang-undang tidak mempunyai kekuatan apapun.
Instruksi-instruksi itu dikeluarkan dengan sah, dalam batas kewenangannya, oleh mereka yang mempunyai kuasa eksekutif. Kan. 35 Tindakan administratif untuk kasus demi kasus, baik dekret atau perintah maupun reskrip, dapat dilakukan dalam batas kewenangannya oleh orang yang mempunyai kuasa eksekutif, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 76, § 1.
Tindakan administratif tidak boleh diperluas pada kasus-kasus lain selain yang disebut. Kan. 39 – Syarat-syarat dalam tindakan administratif hanya dianggap disertakan demi sahnya, apabila dinyatakan dengan kata kalau, kecuali, asalkan.
Kan. 40 – Pelaksana suatu tindakan administratif tidak sah melak-sanakan tugasnya, sebelum menerima surat serta menyelidiki otentisitas dan keutuhannya, kecuali sebelumnya telah dikirim berita tentang hal itu kepadanya oleh otoritas yang mengeluarkan tindakan itu. Kan. 43 – Menurut pertimbangannya yang bijaksana pelaksana tindakan administratif dapat menunjuk orang lain sebagai pengganti dirinya, kecuali penggantian itu dilarang, atau ia sengaja dipilih karena kualifikasi pribadinya atau penggantinya telah ditentukan; tetapi dalam kasus-kasus itu pelaksana boleh mempercayakan tindakan-tindakan persiapan kepada orang lain.
Kan. 45 – Kalau seorang pelaksana melakukan kesalahan dalam pelaksanaan tindakan administratif, ia boleh melakukannya sekali lagi. Dekret untuk kasus demi kasus yang penerapannya dipercayakan kepada seorang pelaksana, mempunyai efek sejak pelaksanaannya; kalau tidak, sejak diberitahukan kepada orangnya oleh otoritas yang mengeluarkannya. Kan. 55 – Dengan tetap berlaku ketentuan kan. 37 dan 51, apabila ada alasan sangat berat menghalangi diserahkannya teks tertulis dari dekret itu, dekret dianggap sudah diberitahukan kalau dibacakan kepada orang yang dituju di hadapan notarius atau dua saksi; tentang peristiwa itu dibuat berita-acara yang harus ditandatangani oleh semua yang hadir. Setiap kali undang-undang memerintahkan untuk mengeluarkan dekret atau orang yang berkepentingan mengajukan secara legitim permohonan atau rekursus untuk memperoleh dekret, otoritas yang berwenang harus mengurus hal itu dalam waktu tiga bulan sesudah permohonan atau rekursus diterima, kecuali dalam undang-undang ditentukan batas waktu yang lain.
Kalau batas waktu itu telah lewat dan dekret belum diberikan, jawaban diandaikan negatif berkaitan dengan pengajuan rekursus lebih lanjut. Dekret untuk kasus demi kasus berhenti mempunyai kekuatan dengan dicabutnya secara legitim oleh otoritas yang berwenang dan juga dengan berhentinya undang-undang yang untuk pelaksanaannya diberikan dekret itu. Kan. 60 – Reskrip manapun dapat diperoleh oleh semua orang yang dengan jelas tidak dilarang. Subreptio atau tidak disebutnya kebenaran meng-halangi sahnya reskrip jika di dalam permohonan tidak dinyatakan hal-hal yang menurut undang-undang, gaya kerja serta praksis kanonik harus dinyatakan demi sahnya, kecuali mengenai reskrip kemurahan yang diberikan dengan Motu Proprio.
Kan. 64 – Dengan tetap berlaku hak Penitensiaria untuk tata-batin, kemurahan yang ditolak oleh salah satu dikasteri Kuria Roma, tidak dapat diberikan dengan sah oleh dikasteri lain dari Kuria itu atau otoritas lain yang berwenang di bawah Paus di Roma, tanpa persetujuan dikasteri yang mulai menanganinya. Dengan tetap berlaku ketentuan-ketentuan § 2 dan § 3, tak seorang pun boleh memohon kepada Ordinaris lain kemurahan yang sudah ditolak oleh Ordinarisnya sendiri, tanpa menyebutkan penolakan itu; tetapi walaupun disebut, janganlah Ordinaris itu memberikan kemurahan itu, kecuali telah memperoleh alasan-alasan penolakan dari Ordinaris pertama. Kan. 68 – Reskrip Takhta Apostolik yang diberikan tanpa pelak-sana harus ditunjukkan kepada Ordinaris dari orang yang memperoleh-nya, hanya jika hal itu diperintahkan dalam surat tersebut, atau mengenai hal-hal publik, atau syarat-syaratnya perlu diperiksa. Kan. 69 – Reskrip yang penyampaiannya tidak ditentukan waktu-nya, dapat ditunjukkan kepada pelaksana pada sembarang waktu, asalkan tak ada kebohongan dan tipu-muslihat.
Kan. 71 – Tak seorang pun diharuskan menggunakan reskrip yang diberikan hanya untuk keuntungannya sendiri, kecuali karena alasan lain secara kanonik ia wajib menggunakannya. Kan. 72 – Reskrip yang diberikan oleh Takhta Apostolik dan telah lewat waktunya, dapat diperpanjang satu kali oleh Uskup diosesan karena alasan yang wajar, tetapi tidak lebih dari tiga bulan.
Kan. 75 – Kalau reskrip mengandung suatu privilegi atau dispen-sasi, ketentuan-ketentuan dari kanon-kanon berikut ini harus ditaati. Privilegi atau kemurahan yang diberikan lewat suatu tindakan khusus demi keuntungan baik perorangan maupun badan bukum tertentu, dapat diberikan oleh pembuat undang-undang dan juga oleh otoritas eksekutif yang diberi kuasa itu olehnya.
Pemilikan selama seratus tahun atau sejak waktu yang tidak diingat lagi menimbulkan pengandaian bahwa privilegi itu telah diberikan. Setiap orang dapat melepaskan privilegi yang diberikan hanya untuk keuntungannya sendiri.
Privilegi yang diberikan kepada suatu badan hukum, atau yang diberikan karena luhurnya tempat atau benda, tidak dapat dilepaskan oleh perorangan; badan hukum itu sendiri tidak dapat melepaskan privilegi yang diberikan kepada dirinya, kalau hal itu merugikan Gereja atau pihak-pihak lain. Juga terhenti kalau menurut penilaian otoritas yang berwenang dengan perjalanan waktu situasi begitu berubah, sehingga privilegi mulai merugikan dan pemakaiannya menjadi tidak licit.
Setiap kali menurut penilaiannya berguna untuk kepentingan spiritual orang-orang beriman, Uskup diosesan dapat memberi dispensasi dari undang-undang disipliner, baik universal maupun partikular, yang diberikan oleh kuasa tertinggi Gereja untuk wilayahnya atau bawahannya, tetapi tidak dari hukum acara atau pidana, juga tidak dari undang-undang yang dispensasinya secara khusus direservasi bagi Takhta Apostolik atau suatu otoritas lain. Jika rekursus ke Takhta Suci sulit dan sekaligus ada bahaya kerugian besar kalau tertunda, maka setiap Ordinaris dapat memberikan dispensasi dari undang-undang tersebut, juga kalau dispensasi dire-servasi Takhta Suci, asalkan mengenai dispensasi yang biasa diberikan dalam situasi yang sama, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 291.
Kan. 88 – Ordinaris wilayah dapat memberi dispensasi dari undang-undang diosesan; dan setiap kali menurut penilaiannya berguna untuk kepentingan kaum beriman, juga dari undang-undang yang dikeluarkan oleh suatu Konsili paripurna atau provinsi, atau juga oleh Konferensi para Uskup. Jangan diberikan dispensasi dari undang-undang gerejawi tanpa alasan yang wajar dan masuk akal, dengan memper-hatikan keadaan kasus dan bobot undang-undang yang didispensasi; kalau tidak demikian dispensasi tidak licit dan, kecuali diberikan oleh pembuat undang-undang sendiri atau atasannya, dispensasi itu juga tidak sah.
Dalam keraguan mengenai cukup-tidaknya alasan, dispensasi diberikan dengan sah dan licit. Kan. 91 – Seseorang yang memiliki kuasa untuk memberikan dispensasi, dapat melaksanakannya, juga kalau ia berada di luar wilayahnya, terhadap bawahan-bawahannya, walaupun mereka sedang berada di luar wilayahnya; dan kalau tidak dengan jelas ditentukan lain, juga terhadap pendatang yang sedang berada di wilayahnya, dan juga terhadap dirinya sendiri. Statuta dalam arti sebenarnya ialah peraturan-peraturan yang ditetapkan menurut norma hukum untuk kelompok orang (universitas personarum) atau kelompok benda (universitas rerum); dan di dalamnya dirumuskan tujuan, penataan, kepemimpinan dan tata-kerjanya. Dalam sidang atau perayaan, aturan tata-tertib itu mengikat mereka yang mengambil bagian di dalamnya.
Yang belum dewasa, sebelum genap tujuh tahun, disebut kanak-kanak dan dianggap belum dapat bertanggungjawab atas tindakannya sendiri (non sui compos); tetapi setelah berumur genap tujuh tahun diandaikan dapat menggunakan akal-budinya. Persona yang belum dewasa dalam melaksanakan haknya tetap di bawah kuasa orangtua atau wali, kecuali dalam hal-hal persona yang belum dewasa menurut hukum ilahi atau hukum kanonik bebas dari kuasa mereka; mengenai pengangkatan para wali dan kewenangan mereka hendaknya ditepati ketentuan hukum sipil, kecuali dalam hukum kanonik ditentukan lain, atau Uskup diosesan dalam kasus-kasus tertentu atas alasan yang wajar berpendapat bahwa harus ditunjuk seorang wali lain. 20 pasangan yang pada waktu melangsungkan perkawainan atau selama hidup perkawinannya menyatakan bahwa ia mau pindah ke Gereja ritus yang mandiri dari pasangannya; tetapi kalau perkawinan berakhir, ia dapat dengan bebas kembali ke Gereja Latin; l dan 2, sebelum berumur genap empatbelas tahun, dan juga anak-anak dari pihak katolik dalam perkawinan campur yang secara legitim pindah ke Gereja ritus lain; tetapi kalau mereka sudah mencapai umur itu, mereka dapat kembali ke Gereja Latin;
Kan. 119 – Untuk tindakan-tindakan kolegial, kecuali ditentukan lain dalam hukum atau statuta, berlaku ketentuan sebagai berikut: Badan hukum menurut hakikatnya bersifat tetap; namun terhenti kalau dibubarkan secara legitim oleh otoritas yang berwenang atau selama seratus tahun berhenti melakukan kegiatan; selain itu badan hukum privat terhenti juga, kalau badan itu sendiri dibubarkan menurut norma statuta, atau kalau fundasi itu sendiri menurut penilaian otoritas yang berwenang tidak ada lagi menurut norma statuta. Kan. 121 – Kalau kelompok orang atau kelompok benda yang adalah badan hukum publik dipersatukan sedemikian sehingga darinya terbentuk satu kelompok badan hukum, maka badan hukum baru itu mewarisi segala harta dan hak yang merupakan milik kelompok-kelompok terdahulu dan menerima segala beban yang ditanggungnya; tetapi terutama mengenai peruntukan harta dan pemenuhan beban-beban, kehendak para pendiri serta penderma dan hak-hak yang telah diperoleh haruslah diamankan. Untuk sahnya tindakan yuridis dituntut agar dilakukan oleh orang yang mampu untuk itu, dan agar dalam tindakan itu terdapat hal-hal yang merupakan unsur hakikinya, dan juga agar ada segala formalitas serta hal-hal yang dituntut oleh hukum untuk sahnya tindakan itu.
Suatu tindakan yuridis diandaikan sah sejauh unsur-unsur lahiriahnya dilaksanakan menurut aturan.
Apabila hukum menentukan bahwa untuk melakukan tindakan tertentu seorang pemimpin membutuhkan persetujuan atau nasihat dari beberapa orang sebagai individu: l0 kalau dituntut persetujuan, tidak sahlah tindakan pemimpin, yang tidak minta persetujuan dari orang-orang itu atau yang bertindak berlawanan dengan pendapat mereka atau salah seorang dari mereka; 20 kalau dituntut nasihat, tidak sahlah tindakan pemimpin kalau ia tidak mendengarkan orang-orang itu; walaupun pemimpin tidak wajib menyetujui pendapat mereka biarpun sudah sepakat, namun tanpa alasan yang menurut penilaiannya sendiri lebih kuat, janganlah ia menyimpang dari pendapat mereka, terutama kalau mereka sepakat.
Mereka semua yang persetujuan atau nasihatnya diperlukan, wajib menyatakan pendapatnya dengan tulus dan, kalau dituntut beratnya perkara, wajib menyimpan rahasia dengan cermat; kewajiban ini dapat dipertegas oleh pemimpin. Kuasa kepemimpinan berdasarkan jabatan dapat berupa baik kuasa yang dilaksanakan atas nama sendiri (potestas ordinaria propria) ataupun atas nama orang lain yang diwakilinya (potestas ordinaria vicaria). Kecuali dalam pemberiannya dengan jelas ditentukan lain atau orang itu dipilih demi pribadinya, kewenangan habitual yang diberikan kepada seorang Ordinaris tidak hilang bila berhenti hak Ordinaris yang diberi kewenangan itu, walaupun ia telah mulai melaksanakannya; tetapi kewenangan itu beralih kepada Ordinaris yang menggantikannya di dalam kepemimpinan. Tetapi tidak dianggap melanggar batas-batas mandatnya kalau seseorang yang diberi delegasi melaksanakan mandatnya itu dengan cara lain dari yang ditentukan dalam mandat, kecuali cara itu ditentukan oleh pemberi delegasi demi keabsahannya. Yang dimaksud dengan sebutan Ordinaris dalam hukum, selain Paus di Roma, juga para Uskup diosesan dan orang-orang lain, yang, walaupun untuk sementara saja, diangkat menjadi pemimpin suatu Gereja partikular atau suatu jemaat yang disamakan dengannya menurut norma kan. 368; dan juga mereka yang di dalam Gereja partikular atau jemaat tersebut mempunyai kuasa eksekutif berdasarkan jabatan, yaitu Vikaris Jenderal dan Episkopal; demikian juga terhadap para anggotanya, pemimpin tinggi tarekat religius klerikal tingkat kepausan dan serikat hidup kerasulan klerikal tingkat kepausan yang sekurang-kurangnya memiliki kuasa eksekutif berdasarkan jabatan. Apa yang dalam kanon-kanon disebut dengan tegas diberikan kepada Uskup diosesan di bidang kuasa eksekutif, dianggap merupakan kewenangan Uskup diosesan saja dan orang-orang lain yang dalam kan. 381, § 2 disamakan dengannya, dan tidak merupakan kewenangan Vikaris jenderal dan episkopal, kecuali dengan mandat khusus. Kuasa yudisial yang dimiliki oleh para hakim atau majelis-majelis pengadilan, harus dilaksanakan dengan cara yang ditentukan dalam hukum, dan tidak dapat didelegasikan, kecuali untuk melakukan tindakan-tindakan persiapan suatu dekret atau putusan. Kan. 136 – Kuasa eksekutif dapat dilaksanakan oleh seseorang, walaupun ia berada di luar wilayahnya, terhadap para bawahan, juga kalau mereka di luar wilayahnya, kecuali pasti lain dari hakekat halnya atau dari ketentuan hukum; kuasa itu juga dapat dilaksanakan terhadap para pendatang yang sedang berada di wilayahnya, kalau menyangkut pemberian hal-hal yang menguntungkan atau pelaksanaan perintah baik undang-undang universal maupun partikular yang mengikat mereka menurut norma kan. 13, § 2, no.2. Kuasa eksekutif yang didelegasikan oleh Takhta Apostolik, dapat disubdelegasikan, baik untuk satu tindakan saja maupun keseluruhan kasus, kecuali orang itu dipilih demi pribadinya atau kalau subdelegasi itu dengan jelas dilarang. Kuasa eksekutif yang didelegasikan oleh otoritas lain yang memiliki kuasa berdasarkan jabatan, kalau didelegasikan untuk keseluruhan kasus, dapat disubdelegasikan hanya untuk kasus per kasus; tetapi kalau didelegasikan untuk satu tindakan atau tindakan-tindakan tertentu, tidak dapat disubdelegasikan, kecuali dengan jelas diizinkan oleh otoritas yang memberi delegasi itu. Kalau beberapa orang diberi delegasi in solidum (masing-masing-secara-penuh dalam kebersamaan) untuk menangani suatu urusan yang sama, maka orang pertama yang mulai menangani urusan itu menyisihkan yang lain, kecuali kemudian ia berhalangan atau dalam menangani urusan itu ia tidak mau melanjutkannya lagi. Kalau beberapa orang diberi delegasi untuk menangani suatu urusan secara kolegial, maka semuanya harus bekerja menurut norma kan. 119, kecuali dalam mandat ditentukan lain.
Untuk diberi jabatan gerejawi, seseorang haruslah berada dalam persekutuan Gereja dan juga cakap, artinya ia mempunyai kualitas yang dituntut untuk jabatan itu oleh hukum universal atau partikular atau oleh undang-undang fundasinya. Pemberian jabatan gerejawi kepada seseorang yang tidak mempunyai kualitas yang dituntut, hanya tidak sah, kalau kualitas itu dengan jelas dituntut oleh hukum universal atau partikular atau undang-undang fundasinya untuk sahnya pemberian itu; kalau tidak, pemberian itu tetap sah, tetapi dapat dibatalkan dengan dekret dari otoritas yang berwenang atau lewat putusan pengadilan administratif. Pemberian jabatan yang terjadi dengan simoni, tidak sah demi hukum itu sendiri. Namun, mengenai jabatan yang menurut hukum diberikan untuk waktu tertentu, pemberiannya dapat dilakukan dalam enam bulan sebelum berakhirnya batas waktu itu, dan mulai efektif sejak hari lowongnya jabatan itu.
Janji akan suatu jabatan, yang dibuat oleh siapapun, tidak menimbulkan efek yuridis apapun. Kan. 154 – Jabatan yang menurut hukum lowong, tetapi yang kebetulan masih dimiliki secara tidak legitim oleh seseorang, dapat diberikan, asalkan dinyatakan sesuai dengan ketentuan bahwa pemilikan itu adalah tidak legitim, dan penyebutan pernyataan itu dibuat dalam surat penyerahan. Pengajuan untuk jabatan gerejawi oleh yang ber-wenang untuk mengajukannya, harus dibuat kepada otoritas yang berhak memberikan pengangkatan untuk jabatan itu, dan harus dibuat dalam waktu tiga bulan terhitung dari saat diperoleh berita bahwa jabatan itu sudah lowong, kecuali ditentukan lain secara legitim. Kalau hak pengajuan dimiliki suatu kolegium atau kelompok orang, yang akan diajukan hendaknya ditunjuk dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan kan. 165-179.
Yang mempunyai hak pengajuan, dapat mengaju-kan satu atau beberapa orang, entah serentak ataupun berturut-turut.
Kecuali ditentukan lain dalam hukum, pihak yang mengajukan seseorang yang ternyata tidak cakap, dapat mengajukan hanya satu kali lagi seorang calon lain dalam waktu satu bulan. Kalau orang yang telah diajukan menarik diri atau meninggal sebelum diangkat, pihak yang berhak mengajukan dapat melaksanakan haknya lagi dalam waktu satu bulan sejak diperoleh berita tentang penarikan diri atau kematian itu. Kan. 165 – Kecuali ditentukan lain dalam hukum atau statuta legitim suatu kolegium atau kelompok orang, jika suatu kolegium atau kelompok orang mempunyai hak memilih untuk suatu jabatan, pemilihan janganlah ditunda lebih dari waktu-guna tiga bulan sejak penerimaan berita bahwa jabatan itu sudah lowong; kalau jangka waktu itu telah lewat tanpa dimanfaatkan, maka otoritas gerejawi yang mempunyai hak untuk mengukuhkan pemilihan atau mempunyai hak untuk selanjutnya memberikan jabatan itu, hendaknya dengan bebas memberikan jabatan yang lowong itu.
Sesudah diadakan pemanggilan secara legitim, yang berhak memberikan suara ialah mereka yang hadir pada hari dan di tempat yang ditentukan dalam undangan itu; ditiadakan kewenangan memberikan suara, baik lewat surat maupun lewat wakil, kecuali secara legitim ditentukan lain dalam statuta. Kalau seseorang dari para pemilih ada di rumah tempat pemilihan diadakan, tetapi tidak bisa menghadiri pemilihan karena kesehatan yang lemah, hendaknya suaranya diminta secara tertulis oleh para skrutator. Kan. 169 – Untuk sahnya pemilihan, tak seorang pun yang tidak termasuk kolegium atau kelompok orang itu dapat diizinkan memberikan suara. Kan. 170 – Pemilihan, yang kebebasannya nyata-nyata terhalang dengan cara apapun, tidak sah demi hukum itu sendiri. Syarat-syarat yang dibubuhkan pada suara sebelum pemilihan, hendaknya dianggap sebagai tidak ada. Sebelum pemilihan dimulai, hendaknya ditunjuk sekurang-kurangnya dua skrutator dari kalangan kolegium atau kelompok orang itu. Kecuali ditentukan lain dalam hukum atau statuta, pemilihan dapat juga dilaksanakan lewat penugasan memilih (per compromissum), yaitu asalkan para pemilih, dengan persetujuan bulat dan tertulis, untuk kali itu menyerahkan hak pilihnya kepada satu atau beberapa orang yang cakap, entah dari kalangan itu atau dari luar, yang atas nama semua memilih atas dasar kewenangan yang diterimanya. 10 kalau ditarik kembali oleh kolegium atau kelompok orang sebelum mulai dilaksanakan;
20 kalau salah satu syarat yang ditambahkan pada penugasan memilih itu tidak dipenuhi; 1, hendaknya dianggap terpilih dan diumumkan oleh ketua kolegium atau kelompok orang. Kalau orang yang terpilih tidak menerimanya, ia kehilangan setiap hak yang timbul dari pemilihan itu dan tidak dipulihkan oleh penerimaan sesudahnya, namun ia dapat dipilih kembali; tetapi dalam jangka waktu satu bulan sejak diketahui penolakan itu, kolegium atau kelompok orang itu harus mengadakan pemilihan baru. Kan. 178 – Kalau orang yang terpilih menerima pemilihan atas dirinya yang tidak membutuhkan pengukuhan, ia segera memperoleh jabatan dengan hak penuh; kalau tidak, ia hanya menerima hak atas jabatan.
Jika otoritas yang berwenang mendapati bahwa orang yang terpilih cakap menurut norma kan. 149, § 1, dan pemilihan telah dilak-sanakan menurut norma hukum, maka ia tidak dapat menolak memberikan pengukuhan itu. Sebelum memperoleh pengukuhan, orang yang terpilih tidak boleh campur-tangan dalam urusan jabatan, baik dalam hal-hal spiritual maupun keduniaan, dan tindakan-tindakan, yang barangkali telah dilakukannya, tidak sah.
Sesudah pemberitahuan pengukuhan orang yang terpilih memperoleh jabatan itu dengan hak penuh, kecuali ditentukan lain dalam hukum.
Kalau pemilihan orang yang oleh para pemilih dianggap paling cocok dan mereka utamakan, terhalang oleh suatu halangan kanonik yang dapat dan biasa diberi dispensasi, maka dengan suaranya mereka dapat mengajukan postulasi atas orang itu kepada otoritas yang berwenang, kecuali ditentukan lain dalam hukum.
Supaya postulasi mempunyai kekuatan hukum, di-tuntut sekurang-kurangnya dua per tiga dari suara. Kalau dalam waktu yang ditentukan postulasi tidak dikirim, maka dengan sendirinya tidak ada postulasi, dan untuk kali itu kolegium atau kelompok orang itu kehilangan hak memilih atau hak mengajukan postulasi, kecuali terbukti bahwa ketua terhambat mengirimkan postulasi itu karena halangan yang wajar, atau ketua telah tidak mengirimkannya tepat pada waktunya, entah karena kesengajaan atau karena kelalaian.
Kalau postulasi tidak dikabulkan oleh otoritas yang berwenang, maka hak pilih kembali kepada kolegium atau kelompok orang itu. Untuk sahnya, pengunduran diri dari jabatan, baik yang membutuhkan pengabulan atau tidak, harus dilakukan kepada otoritas yang berwenang memberi jabatan tersebut, dan itu harus dilakukan secara tertulis atau secara lisan di hadapan dua saksi. Kalau pemindahan tidak dikehendaki oleh pejabat yang bersangkutan, dituntut adanya alasan berat dan harus ditepati prosedur yang ditentukan dalam hukum, dengan selalu ada hak untuk menge-mukakan alasan-alasan keberatannya.
2 dan 3 hanya dapat didesakkan, jika mengenai hal itu pasti dari pernyataan otoritas yang berwenang.
Pemecatan dari jabatan, yaitu hukuman atas suatu kejahatan, hanya dapat dilakukan menurut norma hukum. Kan. 197 – Daluwarsa, sebagai cara untuk memperoleh atau mele-paskan hak subyektif dan juga sebagai cara untuk membebaskan dari kewajiban, diterima oleh Gereja sebagaimana berlaku dalam perundang-undangan sipil negara yang bersangkutan, dengan tetap berlaku kekecualian-kekecualian yang ditentukan dalam kanon-kanon Kitab Hukum ini.
Kan. 198 – Tiada daluwarsa berlaku, kecuali didasari oleh itikad baik (bona fide), tidak hanya pada awal, melainkan juga selama seluruh jangka waktu yang dituntut untuk daluwarsa, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1362. 10 hak dan kewajiban yang berasal dari hukum ilahi, baik kodrati maupun positif; 30 hak dan kewajiban yang secara langsung menyangkut hidup spiritual umat beriman; 60 pemberian jabatan gerejawi yang menurut norma hukum menuntut pelaksanaan tahbisan suci;
Kan. 200 – Kecuali dengan jelas ditentukan lain dalam hukum, waktu dihitung menurut norma kanon-kanon berikut. Kalau waktu berlangsung terus-menerus, bulan dan tahun harus selalu dihitung menurut penanggalan. Kecuali ditentukan kebalikannya, hari terakhir (dies ad quem) dihitung dalam jangka waktu; kalau waktu terdiri dari satu atau beberapa bulan atau tahun, dari satu atau beberapa minggu, maka jangka waktu itu berakhir sesudah selesai hari terakhir dari tanggal yang sama; atau, kalau bulan tidak mempunyai hari dengan tanggal yang sama, dihitung dengan selesainya hari terakhir bulan itu. Kaum beriman kristiani ialah mereka yang, karena melalui baptis diinkorporasi pada Kristus, dibentuk menjadi umat Allah dan karena itu dengan caranya sendiri mengambil bagian dalam tugas imami, kenabian dan rajawi Kristus, dan sesuai dengan kedudukan masing-masing, dipanggil untuk menjalankan perutusan yang diper-cayakan Allah kepada Gereja untuk dilaksanakan di dunia.
Gereja ini, yang di dunia ini dibentuk dan ditata sebagai masyarakat, ada dalam Gereja katolik yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya. Dari kedua pihak ini ada kaum beriman kristiani yang dengan mengikrarkan nasihat-nasihat injili dengan kaul-kaul atau ikatan suci lain yang diakui dan dikukuhkan Gereja, dengan caranya yang istimewa dibaktikan kepada Allah dan bermanfaat bagi perutusan keselamatan Gereja; status mereka, meskipun tidak menyangkut susunan hirarkis Gereja, adalah bagian dari kehidupan dan kekudusannya. Kan. 208 – Di antara semua orang beriman kristiani, yakni berkat kelahiran kembali mereka dalam Kristus, ada kesamaan sejati dalam martabat dan kegiatan; dengan itu mereka semua sesuai dengan kedudukan khas dan tugas masing-masing, bekerjasama membangun Tubuh Kristus. Kan. 216 – Kaum beriman kristiani seluruhnya, karena mengambil bagian dalam perutusan Gereja, mempunyai hak untuk memajukan atau mendukung karya kerasulan, juga dengan inisiatif sendiri, menurut status dan kedudukan masing-masing; tetapi tiada satu usaha pun boleh memakai nama katolik tanpa persetujuan otoritas gerejawi yang berwenang.
Kan. 218 – Mereka yang berkecimpung dalam ilmu-ilmu suci mempunyai kebebasan sewajarnya untuk mengadakan penelitian dan juga untuk mengutarakan pendapatnya secara arif dalam bidang keahliannya, tetapi dengan mengindahkan sikap-menurut (obsequium) yang harus mereka tunjukkan kepada Magisterium Gereja. Kan. 219 – Semua orang beriman kristiani mempunyai hak atas kebebasan dari segala paksaan dalam memilih status kehidupan. Adalah hak kaum beriman kristiani untuk tidak dijatuhi hu-kuman kanonik kecuali menurut norma undang-undang. Kaum beriman kristiani terikat kewajiban untuk membantu memenuhi kebutuhan Gereja, agar tersedia baginya yang perlu untuk ibadat ilahi, karya kerasulan dan amal-kasih serta sustentasi yang wajar para pelayan.
Dalam melaksanakan hak-haknya kaum beriman kristiani, baik secara perseorangan maupun tergabung dalam perseri-katan, harus memperhatikan kesejahteraan umum Gereja dan hak-hak orang lain serta kewajiban-kewajibannya sendiri terhadap orang lain. Demi kesejahteraan umum otoritas gerejawi berwenang mengatur pelaksanaan hak-hak yang dimiliki kaum beriman kristiani.
Seperti semua orang beriman kristiani yang ber-dasarkan baptis dan penguatan ditugaskan Allah untuk kerasulan, kaum awam terikat kewajiban umum dan mempunyai hak, baik secara perseorangan maupun tergabung dalam perserikatan, untuk mengusaha-kan, agar warta ilahi keselamatan dikenal dan diterima oleh semua orang di seluruh dunia; kewajiban itu semakin mendesak dalam keadaan-keadaan dimana Injil tidak dapat didengarkan dan Kristus tidak dapat dikenal orang selain lewat mereka. Orangtua, karena telah memberi hidup kepada anak-anaknya, terikat kewajiban yang sangat berat dan mempunyai hak untuk mendidik mereka; maka dari itu adalah pertama-tama tugas orangtua kristiani untuk mengusahakan pendidikan kristiani anak-anak menurut ajaran yang diwariskan Gereja.
Kan. 227 – Kaum beriman kristiani awam mempunyai hak agar dalam perkara-perkara masyarakat dunia diakui kebebasannya, sama seperti yang merupakan hak semua warga masyarakat; tetapi dalam menggunakan kebebasan itu hendaknya mereka mengusahakan agar kegiatan-kegiatan mereka diresapi semangat injili, dan hendaknya mereka mengindahkan ajaran yang dikemukakan Magisterium Gereja; tetapi hendaknya mereka berhati-hati jangan sampai dalam soal-soal yang masih terbuka mengajukan pendapatnya sendiri sebagai ajaran Gereja. Orang-orang awam yang unggul dalam pengetahuan, kearifan dan integritas hidup, dapat berperan sebagai ahli-ahli atau penasihat, juga dalam dewan-dewan menurut norma hukum, untuk membantu para Gembala Gereja. Orang-orang awam, agar mampu hidup menurut ajaran kristiani dan mewartakannya sendiri dan, jika perlu, dapat membelanya, lagi pula agar dapat menjalankan peranannya dalam merasul, terikat kewajiban dan mempunyai hak untuk memperoleh pengetahuan tentang ajaran itu, yang disesuaikan dengan kemampuan serta kedudukan masing-masing. Mereka juga mempunyai hak untuk memperoleh pengetahuan yang lebih penuh dalam ilmu-ilmu suci yang diberikan di universitas-universitas atau fakultas-fakultas gerejawi atau lembaga-lembaga ilmu keagamaan, dengan mengikuti kuliah-kuliah dan meraih gelar-gelar akademis.
Dengan penugasan sementara orang-orang awam dapat menu-naikan tugas lektor dalam kegiatan-kegiatan liturgis; demikian pula semua orang beriman dapat menunaikan tugas komentator, penyanyi atau tugas-tugas lain menurut norma hukum. Bila kebutuhan Gereja memintanya karena kekurangan pela-yan, juga kaum awam, meskipun bukan lektor atau akolit, dapat menjalankan beberapa tugas, yakni melakukan pelayanan sabda, memimpin doa-doa liturgis, menerimakan baptis dan membagikan Komuni Suci, menurut ketentuan-ketentuan hukum. Para Uskup diosesan yang paling berkepentingan untuk memajukan panggilan, hendaknya mengajar umat yang dipercayakan kepadanya tentang pentingnya pelayanan suci dan kebutuhan akan pelayan-pelayan dalam Gereja, dan hendaknya mereka membangkitkan serta mendukung usaha-usaha untuk membina panggilan, terutama dengan karya-karya yang diadakan untuk itu. Hendaknya dipelihara, kalau ada, dan juga dibina seminari-seminari menengah atau lembaga-lembaga sejenis, di mana diselenggarakan pendidikan keagamaan khusus bersama dengan pendi-dikan humaniora dan ilmiah demi pembinaan panggilan; bahkan, bilamana dinilai bermanfaat, hendaknya Uskup diosesan mengusahakan didirikannya seminari menengah atau lembaga sejenis. Kecuali dalam kasus-kasus tertentu keadaan menganjurkan lain, hendaknya orang-orang muda yang bermaksud menjadi imam dibekali pendidikan humaniora dan ilmiah agar di wilayah masing-masing orang-orang muda itu dipersiapkan untuk menjalani studi lanjut. Orang-orang muda yang bermaksud menjadi imam hendaknya dididik di seminari tinggi untuk pembinaan rohani yang memadai dan untuk tugas-tugasnya sendiri selama seluruh waktu pendidikan, atau, bila menurut penilaian Uskup diosesan keadaan menuntutnya, sekurang-kurangnya selama empat tahun.
Mereka yang secara legitim tinggal di luar seminari, hendak-nya oleh Uskup diosesan dipercayakan kepada seorang imam yang saleh dan cakap, untuk mengusahakan agar mereka dibina dengan seksama bagi hidup rohani dan kedisiplinan. 10 orang-orang muda, sekurang-kurangnya selama tiga tahun, tinggal dalam suatu rumah khusus, kecuali karena alasan-alasan berat Uskup diosesan menentukan lain; Janganlah didirikan suatu seminari interdiosesan sebelum diperoleh aprobasi dari Takhta Apostolik, baik mengenai hal mendiri-kan seminari itu sendiri maupun mengenai statutanya; dan juga dari Konferensi para Uskup, bila mengenai seminari untuk seluruh wilayah Konferensi para Uskup itu; kalau tidak, dari para Uskup yang ber-kepentingan. Rektor mewakili badan hukum seminari dalam semua urusan, kecuali otoritas yang berwenang menentukan lain untuk perkara-perkara tertentu. Dalam pengambilan keputusan mengenai para seminaris sehu-bungan dengan penerimaan tahbisan atau dalam hal mengeluarkan mereka dari seminari, tidak pernah dapat diminta pendapat direktor spiritual dan bapa pengakuan. Dalam hal penerimaan mereka yang telah dikeluarkan dari seminari lain atau tarekat religius, selain itu juga dituntut surat keterangan dari pemimpin yang bersangkutan terutama mengenai alasan dikeluarkannya atau kepergian mereka.
Sakramen Tobat (Gereja Katolik)
Vatikan II, Lumen Gentium 11 § 2; KGK 1422)[1] Dengan menerima Sakramen Rekonsiliasi, peniten (sebutan bagi yang melakukan pengakuan, tetapi maknanya tidak sebatas dalam hal ini saja) dapat memperoleh pengampunan atas dosa-dosa yang diperbuat setelah Pembaptisan; karena Sakramen Baptis tidak membebaskan seseorang dari kecenderungan berbuat dosa. Di antara seluruh tindakan peniten, penyesalan (bahasa Inggris: contrition) adalah tahapan pertama. Dipandang dari sisi manusiawi, pengakuan atau penyampaian dosa-dosanya sendiri akan membebaskan seseorang dan merintis perdamaiannya dengan orang lain.
Pengakuan di hadapan seorang imam merupakan bagian penting dalam Sakramen Pengakuan Dosa sebagaimana disampaikan dalam Konsili Trente (DS 1680): “Dalam Pengakuan para peniten harus menyampaikan semua dosa berat yang mereka sadari setelah pemeriksaan diri secara saksama, termasuk juga dosa-dosa yang paling rahasia dan telah dilakukan melawan dua perintah terakhir dari Sepuluh Perintah Allah (Keluaran 20:17, Ulangan 5:21, Matius 5:28); terkadang dosa-dosa tersebut melukai jiwa lebih berat dan karena itu lebih berbahaya daripada dosa-dosa yang dilakukan secara terbuka.
Setelah seorang peniten melakukan bagiannya dengan menyesali dan mengakukan dosa-dosanya, maka kemudian giliran Allah melalui Putera-Nya (Yesus Kristus) memberikan pendamaian berupa pengampunan dosa (atau absolusi). [1] Sehingga dalam pelayanan sakramen ini, seorang imam mempergunakan kuasa imamat yang dimilikinya dan ia bertindak atas nama Kristus (In persona Christi). Rumusan absolusi yang diucapkan seorang imam dalam Gereja Latin menggambarkan unsur-unsur penting dalam sakramen ini, yaitu belas kasih Bapa yang adalah sumber segala pengampunan; kalimat intinya: “… Saya melepaskanmu dari dosa-dosamu …”. Dalam Summa Theologia, Santo Thomas Aquinas mengatakan bahwa rumusan absolusi tersebut adalah berdasarkan kata-kata Yesus kepada Santo Petrus (Matius 16:19) dan hanya digunakan dalam absolusi sakramental –yaitu pengakuan secara pribadi di hadapan seorang imam.
Menurut KGK 1459, kebanyakan dosa-dosa yang diperbuat seseorang menyebabkan kerugian bagi orang lain. Setelah pendosa diampuni dari dosanya, ia harus memulihkan kesehatan spiritualnya dengan melakukan sesuatu yang lebih untuk menebus kesalahannya; pendosa yang telah diampuni tersebut harus “melakukan silih”, atau biasa disebut penitensi. Penitensi tersebut dapat terdiri dari doa, derma, karya amal, pelayanan terhadap sesama, penyangkalan diri yang dilakukan secara sukarela, berbagai bentuk pengorbanan, dan terutama menerima salib yang harus dipikulnya dengan sabar. perdamaian (rekonsiliasi) dengan Gereja dan Allah, di mana peniten memperoleh kembali rahmat yang sebelumnya hilang akibat dosa
[6] Namun ada pengecualian bahwa jika peniten berada dalam bahaya maut (kematian), setiap imam walaupun tanpa kewenangan dapat memberikan absolusi secara sah. Namun biasanya di dalam ruang atau bilik pengakuan disediakan teks panduan mengenai apa yang harus dilakukan peniten, terutama pada suatu pengakuan terjadwal –misalnya pada masa Pra-Paskah dan masa Adven.
Menurut Kanon 844 §2, umat Katolik diperkenankan menerima Sakramen Rekonsiliasi dari pelayan yang bukan dari Gereja Katolik jika membuatnya mendapatkan manfaat rohani yang nyata dan ia berada dalam keadaan mendesak.
Setiap umat yang telah mencapai usia yang dianggap mampu untuk membuat pertimbangan dan bertanggung jawab atas tindakannya, diwajibkan untuk dengan setia mengakukan dosa-dosa beratnya melalui Sakramen Rekonsiliasi minimal satu kali dalam setahun.
[8] Perintah kedua dari “Lima perintah Gereja” juga menyebutkan mengenai kewajiban seseorang untuk mengakukan dosa-dosanya minimal sekali setahun untuk menjamin penerimaan Hosti Kudus secara layak dalam Perayaan Ekaristi, yang mana merupakan kelanjutan dari pertobatan dan pengampunan yang telah diterima dalam Pembaptisan. Walaupun tidak diwajibkan, pengakuan atas dosa-dosa ringan yang dilakukan sehari-hari sangat dianjurkan oleh Gereja.
Pengakuan dosa-dosa ringan secara teratur membantu seseorang dalam membentuk hati nurani yang baik dan melawan kecenderungan yang jahat; seseorang membiarkan dirinya disembuhkan oleh Kristus dan bertumbuh dalam hidup rohaninya. Kewajiban menyimpan rahasia sakramental juga berlaku pada penerjemah, jika ada, dan semua orang lain yang dengan cara apapun memperoleh pengetahuan mengenai dosa-dosa dari suatu Pengakuan Dosa.
WHY PRIEST? IMAM SEBAGAI SATU-SATUNYA PELAYAN SAKRAMEN REKONSILIASI
Dewasa ini, pertanyaan mengenai sakramen Rekonsiliasi, khususnya diantara kaum muda dan terpelajar semakin kritis. Bukankah mereka juga manusia biasa?” pertanyaan-pertanyaan demikian adalah sebagian dari pertanyaan yang muncul mengenai Sakramen Rekonsiliasi. Penulis mencoba menguraikan gagasan dan argumentasi berdasarkan beberapa pendekatan, sehingga penjelasan itu diharapkan lebih komprehensif. Dalam Gereja Kuno, pengakuan dosa secara privat seperti yang dilakukan sekarang ini belum dikenal.
Jemaat-jemaat perdana hanya mengenal pengakuan dosa dan tobat secara terbuka di hadapan umum. Secara umum, perlakuan jemaat perdana terhadap anggota-anggotanya yang berdosa muncul dalam bentuk pelaksanaan kasih persaudaraan (exercitio caritatis fraternae).
Tindakan penyembuhan berupa pengucilan dari komunitas jemaat, terutama mereka yang berdosa berat (murtad, membunuh dan berzinah). Selama masa tobat dan mati raga, para pendosa tidak boleh ikut ibadat jemaat, khususnya perayaan Ekaristi. Dalam proses ini, Intervensi Uskup perlu karena ia menerima kuasa dari Kristus atas nama komunitas umat beriman yaitu Gereja untuk mengampuni dosa. Bahkan Cyprianus menegaskan intervensi Uskup atas nama Gereja merupakan syarat yang penting dan perlu (conditio necessaria) untuk memperoleh pengampunan Ilahi.
Mereka datang bukan hanya berkotbah tentang pertobatan, melainkan mereka membawa serta suatu bentuk pertobatan yang lebih sesuai dengan situasi konkret Kekristenan waktu itu dan yang kita kenal sekarang ini, yaitu pengakuan dosa privat atau pribadi. Mereka malu mengakui dosanya di depan publik sehingga pengakuan dosa pribadi dirasakan lebih baik.
Praktek ini menuntut para imam untuk menjadi bapa pengakuan dan pembimbing jiwa-jiwa yang cakap. Masalah pastoral berarti bentuk dan cara sakramen pertobatan dilakukan boleh berbeda-beda sesuai dengan keadaan umat.
Ada juga cara lain dari bentuk pertobatan yaitu berziarah ke makam orang-orang kudus atau pellegrinaggio penitenziale. Pada tahun 1215, Konsili Lateran IV menetapkan: “setiap orang beriman, baik pria maupun wanita, kalau telah menjadi akil-balig, paling sedikit setahun sekali harus mengaku dengan jujur segala dosanya secara privat kepada bapa pengakuan dosanya sendiri, dan sedapat-dapatnya menjalankan denda yang dibebankan kepadanya” (DS 437/812; ND 1608).
Inilah ketetapan resmi Gereja yang pertama mengenai sakramen tobat secara pribadi dalam bentuk sebagaimana kita mengenalnya sekarang ini. Konsili Trente kembali menegaskan bahwa pelayan sakramen ini adalah imam dan absolusi yang diberikan oleh seorang imam benar-benar infficax (effective) untuk menghapus dosa, bukan sekedar pernyataan atau deklarasi bahwa dosa sudah diampuni, seperti yang diajarkan kaum reformis (bdk. Kuasa itu termasuk in ordine iurisdictionis yang berkaitan dengan kekuasaan karena adanya tanggung jawab. Konsili Vatikan II juga memberi peneguhan mengenai Imam sebagai pelayan sakramen Rekonsiliasi.
Konsili Vatikan II menegaskan bahwa para uskup adalah mengurus dan mengatur tata tertib pertobatan (bdk. Karena Yesus itu Putera Allah, Ia mengatakan tentang diriNya, ‘bahwa Anak Manusia mempunyai kuasa mengampuni dosa’ (Mrk 2:10).
Yesus berkehendak untuk membuat atau mengadakan suatu tanda pengampunan bagi para murid yang berdosa. Kepada Petrus, kepala Para Rasul Yesus bersabda, “kepadamu akan kuberikan kunci Kerajaan Surga.
Kuasa itu tentunya juga dipercayakan Kristus kepada para rasul yang lain. Pendelegasian kuasa pengampunan itu pun dipertegas Yesus sebelum Ia naik ke Surga. Perlu dipahami bahwa, para murid yang hanyalah manusia biasa, sebenarnya tidak mampu menerima tanggungjawab sebesar itu menurut ukuran manusia, namun dipercaya Yesus Kristus dan diberi olehNya komunikasi khusus dengan Roh Kudus (pneuma) untuk karya khusus ini. Kejadian 2:7), kedua saat Kristus menghembusi para Rasul, sebelum Ia naik ke surga itu. Para Rasul tentus saja paham bahwa Yesus Kristus telah memberi tugas untuk melaksanakan kuasa pengampunan itu. Sebab jika aku mengampuni, – seandainya ada yang harus kuampuni-, maka hal itu kubuat oleh karena kamu di hadapan Kristus (2 Kor 2:10).
Pemulihan relasi itu terjadi secara nyata dalam sakramen rekonsiliasi di hadapan imam. Maka demi kelayakan dirinya, para imam diundang untuk menghayati persatuan dengan Kristus dalam segala situsi hidup mereka.
Beberapa kanon secara khusus menyatakan mengenai kedudukan penting para imam sebagai satu-satunya pelayan Sakramen Rekonsiliasi. [12] Hal ini diatur dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK )1983 kanon 966 yang menyatakan bahwa demi sahnya absolusi dosa dituntut bahwa , di samping kuasa tahbisan, juga kewenangan melaksanakan kuasa itu terhadap umat beriman yang diberi absolusi.
Kewenangan seorang imam untuk menerima pengakuan dosa dari peniten itu hanya diberikan ketika para imam itu terbukti cakap melalui ujian atau melalui cara lain yang ditentukan oleh yang berwewenang (bdk Kanon 970). Hal ini penting dilakukan demi menjadi kualitas imam dan sakramen rekonsiliasi itu sendiri.
Mengenai Kerahasiaan pengakuan dosa sebenarnya sudah muncul sejak Konsili Lateran IV tahun 1215, yang dipertahankan sampai sekarang. Kanon 983 § 1 menyatakan secara tegas bahwa kerahasiaan sakramental dari pengakuan dosa peniten tidak dapat diganggu gugat, karena ini tidak dibenarkan imam sebagai seorang konfesor dengan kata-kata atau dengan cara lain atas dasar apapun mengkhianati peniten. Dalam kanon 1388 § 1, Gereja menegaskan bahwa barangsiapa imam, yang bertindak sebagai bapa pengakuan secara langsung melanggar rahasia sakramental ini, terkena hukum ekskomunikasi secara langsung (latae sententiae) yang direservasi oleh Tahta Suci; sedangkan yang melanggarnya hanya secara tidak langsung, hendaknya dihukum juga menurut besarnya tindak pidana, misalnya terkena suspensi. Kadang para peniten datang kepada konfesor dengan perasaan takut sekaligus menaruh kepercayaan. Jika seorang peniten sampai pada kesadaran bahwa ini adalah saat perjumpaan dengan Kristus sendiri, maka akan tercipta sebuah dialog yang bijak dan efektif yang membantu buah-buah rohani bagi peniten sendiri. Kurt mengutip kata-kata Bapa Suci Yohanes Paulus II dalam seruan Apostoliknya “Reconciliatio et Paenitentia” yang menegaskan bahwa tugas seorang imam adalah memahami kelemahan dan kejatuhan mereka, membantu peniten membangun kehendak untuk melakukan pembaruan diri, melihat gerakan Roh Kudus dalam hati mereka, memberi pemahaman kepada mereka bahwa Allah sendiri yang dapat menganugerahkan pengampunan, merayakan pendamaian antara peniten dengan Allah sebagaimana digambarkan dalam perumpaan Anak Yang Hilang, mengembalikan kembali para pendosa yang tertebus itu dalam komunitas eklesial bersama saudara-saudara lainnya, dan mengingatkan para peniten secara bersahabat layaknya seorang bapa, “jangan berbuat dosa lagi”.
Prinsip Kedua, seorang imam harus sungguh-sungguh memberi perhatian pada kata-kata para peniten. Agar dapat menangkap persoalan dengan baik, seorang imam boleh mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai bentuk klarifikasi.
Kata-kata yang terungkap oleh konfesor hendaknya bukan kata-kata yang menuduh atau menghakimi, tetapi justru meneguhkan dan membangunkan dalam hati para peniten semangat untuk memperbarui diri di hadapan Allah.
Tidak semua orang diberi rahmat dan karunia sebagaimana yang diterima oleh para imam.
Sebagaimana prinsip Gereja yang fenomenal “Ecclesia semper reformanda est”, begitu pula para imam. 1985 Sakramen Tobat; Kumpulan Karangan, pro manuscripto diktat kuliah Fakultas Teologi Wedabhakti, Yogyakarta.
2011 The Priest, Minister of Divine Mercy, An Aid for Confessors and Spiritual Directors, Libreria Editrice Vaticana, Vatikan. [10] Kongregasi untuk para Klerus, The Priest, Minister of Divine Mercy, An Aid for Confessors and Spiritual Directors, Libreria Editrice Vaticana, Vatikan 2011, 11. [11] Bert van der Heijden, Sakramen Tobat; Kumpulan Karangan, pro manuscripto diktat kuliah Fakultas Teologi Wedabhakti, Yogyakarta 1985, 33.
Be First to Comment