Press "Enter" to skip to content

Makna Sakramen Perkawinan Sebagai Sebuah Panggilan

Teman kuliah sekelas saya ada yang lulusan sekolah pendeta, sebelum menjadi seorang Katolik. many things, but I should say, first and foremost, is the Church teaching regarding Marriage” (Banyak hal, namun yang terutama, adalah ajaran Gereja tentang Perkawinan).

Ini adalah sesuatu yang layak kita renungkan, karena sebagai orang Katolik, kita mungkin pernah mendengar ada orang mempertanyakan, mengapa Gereja Katolik menentang perceraian, aborsi dan kontrasepsi, mengapa Gereja umumnya tidak dapat memberikan sakramen Perkawinan (lagi) kepada wanita dan pria yang sudah pernah menerima sakramen Perkawinan sebelumnya, atau singkatnya, mengapa disiplin mengenai perkawinan begitu ‘keras’ di dalam Gereja Katolik. Walaupun dalam Perjanjian Lama perkawinan monogami (satu suami dan satu istri) tidak selalu diterapkan karena kelemahan manusia, kita dapat melihat bahwa perkawinan monogami adalah yang dimaksudkan Allah bagi manusia sejak semula. Jadi, perkawinan antara pria dan wanita berkaitan dengan penciptaan manusia menurut citra Allah. Kasih yang timbal balik, setia, dan total tanpa batas antara Allah Bapa dengan Yesus Sang Putera ‘menghasilkan’ Roh Kudus.

Pada Perjanjian Lama, kita dapat membaca bagaimana Allah menjadikan Yerusalem (bangsa Israel) sebagai istri-Nya (Yeh 16:3-14; Yes 54:6-dst; 62:4-dst; Yer 2:2; Hos 2:19; Kid 1-dst) untuk menggambarkan kesetiaanNya kepada umat manusia. Pada Perjanjian Baru, Yesus sendiri menyempurnakan nilai perkawinan ini dengan mengangkatnya menjadi gambaran akan hubungan kasih-Nya kepada Gereja-Nya (Ef 5:32).

Melihat keagungan makna perkawinan ini tidaklah berarti bahwa semua orang dipanggil untuk hidup menikah. (KGK 1601) Hal ini berkaitan dengan gambaran kasih Allah yang bebas (tanpa paksaan), setia, menyeluruh dan ‘berbuah’. Sakramen Perkawinan juga mengangkat hubungan kasih antara suami dengan istri, untuk mengambil bagian di dalam salah satu perbuatan Tuhan yang ajaib, yaitu penciptaan manusia. Syarat ketiga adalah, mengingat pentingnya kesepakatan yang bebas dan bertanggung jawab, maka perjanjian Perawinan ini harus didahului oleh persiapan menjelang Perkawinan.

(KGK 1639) Atas dasar inilah, maka Perkawinan Katolik yang sudah diresmikan dan dilaksanakan tidak dapat diceraikan. Ikatan perkawinan yang diperoleh dari keputusan bebas suami istri, dan telah dilaksanakan, tidak dapat ditarik kembali. Sejak jaman Kristen awal, Perkawinan merupakan gambaran dari kasih Kristus kepada GerejaNya, sehingga ia bersifat seumur hidup, monogami, dan tak terceraikan. Tetapi jika ia menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan yang lain, ia juga berbuat zinah.” (The Shepherd of Hermas, 4:1:6) St. Ignatius dari Antiokhia (35-110), dalam suratnya kepada St. Polycarpus, mengajarkan kesetiaan antara suami istri, dan bahwa suami harus mengasihi istrinya seperti Tuhan Yesus mengasihi Gereja-Nya.

[5] Perkawinan sebagai lambang persatuan antara Kristus dan Gereja ditekankan kembali oleh St. Leo Agung (440-461). St. Yustinus Martyr (151): “Yesus berkata begini: “Barangsiapa melihat dan menginginkan seorang wanita, ia telah berbuat zinah di dalam hatinya di hadapan Tuhan.” Dan, “Barangsiapa kawin dengan seseorang yang telah dicerikan suaminya, berbuat zinah.” Menurut Guru kita, seperti mereka yang berdosa karena perkawinan kedua…, demikianlah juga mereka berdosa karena melihat dengan nafsu kepada seorang wanita. Ia menentang bukan saja mereka yang telah berbuat zinah namun mereka yang ingin berbuat zinah; sebab bukan hanya perbuatan kita yang nyata bagi Tuhan tetapi bahkan pikiran kita (St. Justin Martyr, First Apology 15) St. Ignatius dari Antiokhia (35-110), dalam suratnya kepada St. Polycarpus, mengajarkan kesetiaan antara suami istri, dan bahwa suami harus mengasihi istrinya seperti Tuhan Yesus mengasihi Gereja-Nya. [6] Perkawinan sebagai lambang persatuan antara Kristus dan Gereja ditekankan kembali oleh St. Leo Agung (440-461). [8] Karena persatuan ini, maka seseorang tidak dapat menikah lagi selagi pasangan terdahulu masih hidup, sebab jika demikian ia berzinah.

[10] Origen (185-254) mengajarkan bahwa Tuhanlah yang mempersatukan sehingga suami dan istri bukan lagi dua melainkan ‘satu daging’. St. Yohanes Krisostomus (347-407), menjelaskan bahwa di dalam ayat, “Apa yang telah dipersatukan Tuhan, janganlah diceraikan manusia” (Mat 19:6), artinya adalah bahwa seorang suami haruslah tinggal dengan istrinya selamanya, dan jangan meninggalkan atau memutuskan dia. Hak perkawinan telah diberikan kepadamu untuk alasan ini; supaya kamu tidak jatuh ke dalam dosa dengan wanita asing.

‘Jika kamu terikat dengan seorang wanita, jangan bercerai; sebab kamu tidak diizinkan untuk menikah dengan orang lain, selagi istrimu masih hidup.” (St. Ambrosius, Abraham 1:7:59)”Dengarkanlah hukum Tuhan, yang bahkan mereka yang mengajarkannya harus juga mematuhinya: “Apa yang dipersatukan Allah, jangan diceraikan manusia” (Commentary on Luke 8:5) St. Hieronimus (396): “… Sepanjang suami masih hidup,… meskipun ia berzinah.. atau terikat kepada berbagai kejahatan, jika ia [sang istri] meninggalkannya karena perbuatan jahatnya, ia [suaminya itu] tetaplah adalah suaminya dan ia [sang istri] tidak dapat menikah dengan orang lain.” (St. Jerome, Letters 55:3). St. Paus Innocentius I (408): “Praktek ini dilakukan oleh semua: tentang seorang wanita, yang dianggap sebagai orang yang berbuat zinah jika ia menikah kedua kalinya sementara suaminya masih hidup, dan izin untuk melakukan penitensi tidak diberikan kepadanya sampai salah satu dari pria itu meninggal dunia.” (Pope Innocentius I, Letters 2:13:15).

Maka, seorang pasangan secara hukum boleh dilepaskan, pada kasus perzinahan, tetapi ikatan untuk tidak menikah lagi, tetap berlaku. Itulah mengapa, seorang laki-laki berbuat zinah, jika ia menikahi seorang wanita yang telah dilepaskan [oleh suaminya], justru karena alasan perzinahan ini.” (St. Augustine, Adulterous Marriages 2:4:4)”Tak diragukan lagi hakekat perkawinan adalah ikatan ini, sehingga ketika seorang laki-laki dan perempuan telah dipersatukan dalam perkawinan, mereka harus tetap tidak terpisahkan sepanjang hidup mereka, atau tidak boleh bagi salah satu pihak dipisahkan dari yang lain, kecuali karena alasan perzinahan.

Sejak awal mula Allah menghendaki persatuan antara pria dan wanita, yang diwujudkan secara mendalam di dalam Perkawinan. Karena itu Perkawinan Katolik bersifat tetap seumur hidup, setia, monogami, dan terbuka terhadap kelahiran baru.

Jadi tepat jika dikatakan bahwa sakramen Perkawinan melibatkan tiga pihak, yaitu, suami, istri dan di atas segalanya, Kristus sendiri. “Marriage takes three to make a go… and when Christ is at the center, it will prevail until the end, and even now on earth, receive a foretaste of the wedding feast of the Lamb!”

Hidup Perkawinan Adalah Panggilan – SEP SURABAYA

Dalam hal ini perkawinan bukan atas prakarsa manusia, tetapi Allah berperan mempersatukan mereka. Persatuan ini berawal dari rencana Allah: ”tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja.

Maka sebuah relasi antara laki-laki dan perempuan yang berujung pada perkawinan yakni dengan saling menerimakan Sakramen Perkawinan, adalah sebuah relasi yang di dalamnya Allah berperan dan berkuasa. Allah mengukuhkan kelangsungan sebuah perkawinan dengan memberikan perintah: ”Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu.

Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Mat 19:6). Mengutip pertanyaan orang Farisi tentang perceraian: “Apakah diperbolehkan orang menceraikan istrinya dengan alasan apa saja?” (Mat 19:3) mencerminkan dangkalnya sebuah pandangan tentang nilai sebuah perkawinan.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa cinta berasal dari hal-hal lahiriah, tetapi ketika kita menyadari bahwa kita sedang bekerja sama dengan Allah dalam sebuah perkawinan, apa pun yang sedang atau akan dialami dalam perkawinan kita akan dikuatkan menanggung dan melewatinya.

B. Panggilan Hidup Berkeluarga

Pembelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti Kelas XII BAB I dengan materi 2: Panggilan Hidup Berkeluarga. Baik laki- laki maupun perempuan mempunyai cita-cita luhur akan membentuk keluarga yang harmonis.

Artinya, antara lain bahwa keluarga-keluarga Kristiani merupakan pusat iman yang hidup, tempat pertama iman akan Kristus diwartakan dan sekolah pertama tentang doa, kebajikan- kebajikan dan cinta kasih Kristen (bdk. Pedoman Pastoral Keluarga (MAWI 1975) antara lain mengatakan: Kita makin menginsyafi bahwa perkawinan itu persekutuan cinta antara pria dan wanita yang secara sadar dan bebas menyerahkan diri beserta segala kemampuannya untuk selamanya. Jika pasangan suami istri dan anak- anak hidup dalam kasih yang total, maka keluarga menjadi gambaran nyata sebuah Gereja, sehingga tepatlah jika keluarga itu disebut sebagai Gereja kecil atau ecclesia domestica. Ini adalah salah satu tugas pasangan Kristiani yang paling genting saat ini, di saat dunia dikaburkan oleh banyak pandangan yang menurunkan derajat perkawinan, seolah hanya pelampiasan keinginan jasmani semata.

Jika pasangan suami istri dan anak- anak hidup dalam kasih yang total, maka keluarga menjadi gambaran nyata sebuah Gereja, sehingga tepatlah jika keluarga itu disebut sebagai Gereja kecil atau ecclesia domestica. Kehadiran aktif ayah sangat membantu pembinaan mereka dan pengurusan rumah tangga oleh ibu, terutama dibutuhkan oleh anak-anak yang masih muda, perlu dijamin, tanpa maksud supaya pengembangan peranan sosial wanita yang sewajarnya dikesampingkan.

Hak orangtua untuk melahirkan keturunan dan mendidiknya dalam pangkuan keluarga juga harus dilindungi. Untuk mencapai tujuan itu semangat iman kristiani, suara hati moril manusia; dan kebijaksanaan serta kemahiran mereka yang menekuni ilmu-ilmu suci, akan banyak membantu.

Hasil penelitian para pakar ilmu-pengetahuan, terutama dibidang biologi, kedokteran, sosial dan psikologi, dapat berjasa banyak bagi kesejahteraan perkawinan dan keluarga serta ketenangan hati, melalui pengaturan kelahiran manusia yang dapat di pertanggung jawabkan. Berbekalkan pengetahuan yang memadai tentang hidup berkeluarga, para imam bertugas mendukung panggilan suami-isteri melalui pelbagai upaya pastoral; pewartaan sabda Allah; ibadat liturgis; dan bantuan-bantuan rohani lainnya dalam hidup perkawinan dan keluarga mereka.

Perkawinan Katolik itu panggilan hidup yang indah dan menyenangkan

Pastor Agung Prihartana bersama Mgr Angkur dan 22 anggota Couples for Christ dari Jakarta menghadiri Pertemuan Keluarga se-Dunia VII di Milan, Italia, 30 Mei-3 Juni 2012. PATOR BERNARDINO REALINO AGUNG PRIHARTANA MSF: Maria dan Yusuf adalah pribadi-pribadi rendah hati, yang selalu mengutamakan kehendak Allah dalam segala situasi.

Akhirnya ia mengambil keputusan bukan berdasarkan rasionalnya sebagai laki-laki yang bimbang akan tunangannya, tetapi tetap menerima Maria karena Allah menghendakinya.

Penjelmaan Sabda Allah dan hidup tersembunyi Keluarga Kudus Nazareth adalah sumber spiritualitas MSF yang tiada habis-habisnya.

Keluarga Kudus tidak berteriak-teriak atau berkoar-koar mengenai keistimewaan mereka menjadi tempat kelahiran Putera Allah. Namun karya mereka, yakni menghadirkan Yesus Juru Selamat kepada umat manusia sungguh nyata. Jadi keistimewaan yang diterimanya disyukuri dan disimpan dalam kehidupan mereka, bukan dipamerkan. Saya rasa spiritualitas ini bukan monopoli imam dan bruder MSF, tetapi milik semua umat Katolik.

Maka semestinya, kekatolikan bukan hanya sekedar untuk gengsi-gengsian, tetapi membuat kita secara konkret menghadirkan Kristus bagi mereka yang merindukannya. Salah satu karya utama Kongregasi MSF adalah pastoral keluarga, karena dari keluarga lahirlah para imam atau biarawan-biarawati dan tokoh-tokoh Katolik yang akan melaksanakan tugas perutusan Gereja dan membangun kehidupan masyarakat. Belajar teologi perkawinan dan keluarga adalah salah satu cara kami berusaha mempersiapkan diri secara serius agar bisa memberikan pelayanan yang baik bagi keluarga-keluarga. Media massa sering dan lebih mudah mengangkat keretakan rumah tangga daripada keharmonisan keluarga, sehingga rasa-rasanya potret perkawinan Katolik saat ini sangat suram.

Semestinya diangkat juga pasangan dan keluarga harmonis yang seluruh anggota keluarganya melakukan pelayanan, baik di Gereja maupun masyarakat. Dengan mengajak keluarga-keluarga ini dalam berbagai pelayanan, kita memberi kesaksian bahwa perkawinan Katolik adalah panggilan hidup yang indah dan menyenangkan. Keharmonisan bukanlah sesuatu yang sulit, apalagi mustahil dialami dalam kehidupan perkawinan dan keluarga. Jatuh-bangun, konflik, permasalahan merupakan bagian yang tak bisa dielakkan dalam perjalanan kehidupan manusia, tapi tidak boleh dijadikan alasan untuk mengakhiri kebaikan hidup perkawinan dan keluarga.

Pendidikan anak bisa ditemukan buktinya dalam Injil Lukas, Yesus bertambah besar hikmat-Nya, dikasihi Allah dan sesama. Tetapi sebaliknya, gadget bisa menjadi “pelayan” kita untuk menambah pengetahuan dan keharmonisan relasi keluarga bila dimanfaatkan secara positif.

Ternyata, semua menginginkan agar gadget menjadi pelayan yang membantu keluarga mengalami kebahagiaan hidup. Ketiga, menggunakan gadget untuk mengembangkan pengetahuan, menghangatkan relasi, misalnya menjalin komunikasi dengan keluarga saat berada di luar kota, bahkan mendorong atau menyemangati anggota keluarga, saudara, atau sahabat yang sedang menghadapi persoalan.

Pedoman itu menegaskan kembali panggilan hidup berkeluarga, bahwa perkawinan adalah tanda dan sarana kehadiran cinta kasih Allah yang menyelamatkan, keluarga adalah komunitas cinta kasih, pembela kehidupan, Gereja domestika, dan sel masyarakat. Pasti bisa memanfaatkan pesta Natal sebagai kesempatan membangun kebersamaan dalam hidup berkeluarga yang berkualitas.

Bila keluarga membina karakter anggotanya, terutama anak-anak, dengan iman dan kemanusiaan, mereka akan menjadi pribadi berkualitas. Inilah bukti nyata bahwa Gereja mendukung keluarga dalam menghayati panggilan hidupnya, sekaligus menghargai kesucian hidup berkeluarga.

Perkawinan dalam Tradisi Katolik

Perkawinan antara seorang pria dan wanita dalam agama apapun merupakan suatu peristiwa kehidupan manusia yang sangat sakral. Karena itu tidak boleh dinodai atau dikhianati oleh siapapun dengan motif apapun.

umum melalui infotainment di televisi atau sarana sosial media digital yang kini berkembang pesat. Pemberitaan media massa tentang kasus perkawinan dengan berbagai latarbelakangnya itu, dapat menciptakan suatu pandangan masif dalam masyarakat bahwa perceraian suami-istri merupakan hal yang biasa-biasa saja, bahkan dianggap sebagai suatu budaya dalam kehidupan modern.

Kesetiaan itu mewujudkan dirinya dalam dua sifat perkawinan yang lainnya, yaitu: monogami dan tak dapat diceraikan. Ketidaksetiaan sejak awal digolongkan oleh Gereja di antara dosa-dosa yang paling berat, sama seperti pembunuhan dan penyembahan berhala.

Sebab, ketidaksetiaan bukan hanya dosa besar terhadap teman hidup, tetapi dosa besar terhadap panggilan luhur menjadi sakramen kepada teman hidup, dan bersamasama kepada seluruh umat. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pasal 1 UU berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir-batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Dalam masyarakat tradisional perkawinan pada umumnya masih merupakan suatu ”ikatan” , yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang wanita, tetapi juga mengikat kaum kerabat si laki-laki dengan kaum kerabat si wanita dalam suatu hubungan tertentu. Perkawinan tradisional ini umumnya merupakan suatu proses, mulai dari saat lamaran, lalu memberi mas kawin (belis), kemudian peneguhan, dan seterusnya

perkawinan, seorang pria dan seorang wanita saling berjanji untuk hidup bersama, di depan masyarakat agama atau masyarakat negara, yang menerima dan mengakui perkawinan itu sebagai sah. Seluruh kehidupan bersama sebagai suami-istri didasarkan dan diresapi seluruhnya oleh cinta.

Tetapi dengan perjanjian ingin diungkapkan pula dimensi personal dari hubungan suami-istri, yang mulai sangat ditekankan pada abad modern ini Kebersamaan seluruh hidup harus muncul utuh dalam segala aspeknya, apalagi kalau dikaitkan dengan cinta kasih Perlu pula dilihat bahwa perkawinan menurut bentuknya merupakan suatu lembaga dalam Perlu dilihat pula bahwa perkawinan menurut maksud dan intinya merupakan kesatuan hidup dari dua pribadi.

Tidak ada perkawinan tanpa kebebasan yang ingin membangun kesatuan hidup itu. Perkawinan terwujud dengan persetujuan antara seorang pria dan wanita yang diungkap secara bebas, untuk membagi hidup satu sama lain. Seorangyang sungguh egois sebenarnya tidak sanggup menikah, karena hakikat perkawinan adalah panggilan untuk hidup bersama 1) Gereja selama berabad-abad mengajar, bahwa tujuan pokok perkawinan adalah melahirkan anak. Baru pada abad kita ini, menjelang Konsili Vatikan II, orang mulai bertanya-tanya lagi mengenai hakikat perkawinan. Dalam dokumendokumen sesudah Konsili Vatikan II Gereja tidak lagi terlalu mutlak mengatakan bahwa keturunan sebagai tujuan paling pokok dan utama.

3) Anak-anak, menurut pandangan Gereja, adalah “anugerah perkawinan yang paling utama dan sangat membantu kebahagiaan orangtua. 4) Pemenuhan tujuan pernikahan tidak berhenti pada lahirnya anak, melainkan anak harus dilahirkan kembali dalam permandian dan pendidikan kristiani, entah itu intelektual, moral, keagamaan,hidup sakramental, dan lain-lain

Suami dan istri dipilih Tuhan untuk menjadi suatu sakramen satu bagi yang lain. Jadi, mereka diangkat menjadi tanda kehadiran Kristus yang selalu menguduskan, menguatkan dan menghibur tanpa memasang syarat apapun.

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.