Press "Enter" to skip to content

Fungsi Sakramen Dalam Gereja Katolik

Untuk tanda suci (objek materi atau tindakan) yang memiliki kemiripan dengan Sakramen, lihat Sakramentali Meskipun tidak semua orang dapat menerima semua sakramen, sakramen-sakramen secara keseluruhan dipandang sebagai sarana penting bagi keselamatan umat beriman, yang menganugerahkan rahmat tertentu dari tiap sakramen tersebut, misalnya dipersatukan dengan Kristus dan Gereja, pengampunan dosa-dosa, ataupun pengkhususan (konsekrasi) untuk suatu pelayanan tertentu. Tetapi kurang layaknya kondisi penerima untuk menerima rahmat yang dianugerahkan tersebut dapat menghalangi efektivitas sakramen itu baginya; sakramen memerlukan adanya iman meskipun kata-kata dan elemen-elemen ritualnya berdampak menyuburkan, menguatkan, dan memberi ekspresi bagi iman (Kompendium Katekismus Gereja Katolik, 224).

Penjelasan tiap sakramen tersebut berikut ini terutama didasarkan atas Kompendium Katekismus Gereja Katolik. Pembaptisan juga membuat penerimanya mengambil bagian dalam imamat Kristus dan merupakan landasan komuni (persekutuan) antar semua orang Kristen. Sakramen ini menandai penerimanya dengan suatu meterai rohani yang berarti orang tersebut secara permanen telah menjadi milik Kristus.

Seperti pembaptisan, penguatan hanya diterima satu kali, dan si penerima harus dalam keadaan layak (artinya bebas dari dosa-maut apapun yang diketahui dan yang belum diakui) agar dapat menerima efek sakramen tersebut. Hanya uskup atau imam yang dapat menjadi pelayan Sakramen Ekaristi, dengan bertindak selaku pribadi Kristus sendiri.

Sakramen ini memiliki empat unsur: penyesalan si peniten (si pengaku dosa) atas dosanya (tanpa hal ini ritus rekonsiliasi akan sia-sia), pengakuan kepada seorang imam (boleh saja secara spirutual akan bermanfaat bagi seseorang untuk mengaku dosa kepada yang lain, akan tetapi hanya imam yang memiliki kuasa untuk melayankan sakramen ini), absolusi (pengampunan) oleh imam, dan penyilihan. Pada awal abad-abad Kekristenan, unsur penyilihan ini sangat berat dan umumnya mendahului absolusi, namun sekarang ini biasanya melibatkan suatu tugas sederhana yang harus dilaksanakan oleh si peniten, untuk melakukan beberapa perbaikan dan sebagai suatu sarana pengobatan untuk menghadapi pencobaan selanjutnya. Baru menderita sakit ataupun makin memburuknya kondisi kesehatan membuat sakramen ini dapat diterima berkali-kali oleh seseorang. Dalam tradisi Gereja Barat, sakramen ini diberikan hanya bagi orang-orang yang berada dalam sakratul maut, sehingga dikenal pula sebagai “Pengurapan Terakhir”, yang dilayankan sebagai salah satu dari “Ritus-Ritus Terakhir”.

Pentahbisan seseorang menjadi imam mengkonfigurasinya menjadi Kristus selaku Kepala Gereja dan Imam Agung, serta menganugerahkan baginya kuasa, sebagai asisten uskup yang bersangkutan, untuk merayakan sakramen-sakramen dan kegiatan-kegiatan liturgis lainnya, teristimewa Ekaristi. Pentahbisan seseorang menjadi diakon mengkonfigurasinya menjadi Kristus selaku Hamba semua orang, menempatkan dia pada tugas pelayanan uskup yang bersangkutan, khususnya pada kegiatan Gereja dalam mengamalkan cinta-kasih Kristiani terhadap kaum papa dan dalam memberitakan firman Allah. Sakramen-sakramen juga invalid jika materia atau forma-nya kurang sesuai dengan yang seharusnya. Syarat terakhir berada di balik penilaian Tahta Suci pada tahun 1896 yang menyangkal validitas imamat Anglikan.

Adapun masing-masing Gereja Katolik Ritus Timur, setelah memenuhi syarat-syarat tertentu termasuk berkonsultasi dengan (namun tidak harus memperoleh persetujuan dari) Tahta Suci, dapat menetapkan halangan-halangan (Kitab Hukum Kanonik Gereja-Gereja Timur, kanon 792). Syarat-syarat bagi validitas pernikahan seperti cukup umur (kanon 1095) serta bebas dari paksaan (kanon 1103), dan syarat-syarat bahwa, normalnya, mengikat janji pernikahan dilakukan di hadapan pejabat Gereja lokal atau imam paroki atau diakon yang mewakili mereka, dan di hadapan dua orang saksi (kanon 1108), tidaklah digolongkan dalam Hukum Kanonik sebagai halangan, tetapi sama saja efeknya. Ada tiga sakramen yang tidak boleh diulangi: Pembaptisan, Penguatan dan Imamat: efeknya bersifat permanen. Akan tetapi, jika ada keraguan mengenai validitas dari pelayanan satu atau lebih sakramen-sakramen tersebut, maka dapat digunakan suatu formula kondisional pemberian sakramen misalnya: “Jika engkau belum dibaptis, aku membaptis engkau …”

Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Istilah sakramen berasal dari bahasa Latin sacramentum, yang berarti “suatu kegiatan suci”. Sakramen berasal dari bahasa Latin 1 Sakramentum, artinya “membuat suci, penggunaan suci, mempersembahkan kepada dewa-dewa”; 2 Musterion, “ketetapan-ketetapan yang diberikan tekanan atau perhatian khusus” (dalam Vulgata, berarti, ketetapan yang Yesus berikan tekanan khusus); Kedua kata tersebut dalam budaya Helenis, dipakai sebagai: Seorang prajurit tetap setia kepada panglimanya, bahkan sampai mati demi bangsa dan negaranya.

Sehingga dengan menerima Sakramen, seseorang berjanji untuk hidup setia kepada Yesus Kristus.

Sakramen sebagai alat karunia yang menyatakan kasih Allah, untuk memperteguh iman seseorang pada Firman, sehingga tidak terombang-ambing dalam kelemahan dan pencobaan. Arti Baptisan,; (Yunani), Baptizo, dimandikan, dibersihkan, atau diselamkan; Roma 6: 1- 14, mati dan bangkit di dalam Kristus; Melambangkan bahwa manusia mati terhadap dosa bersama dengan Kristus, dan dibangkitkan untuk suatu hidup baru. 28: 19 “pergi dan jadikan semua bangsa murid Tuhan, baptis dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus, mengajar Firman Allah untuk menjadi murid Tuhan ; untuk masuk dalam keluarga umat kudus kepunyaan Allah, I Pet. Sakramen ditetapkan Tuhan Yesus untuk menguatkan dengan sesama orang percaya, seluruh umatNya, atau segenap keluarga Allah, di semua tempat dan segala zaman. Gereja Mula-mula atau orang-orang yang menjadi percaya setelah peristiwa Pentakosta setiap hari berkumpul untuk memecahkan roti, yaitu Perjamuan Kudus, Kisah 2:42. Gereja melakukan atau melaksanakan Perjamuan Kudus sebagai peringatan terhadap penderitaan -dan juga kematian serta kebang-kitan- yang Tuhan Yesus alami, sampai Ia datang kedua kali, 1 Kor 11:28. Makan roti mengingatkan bahwa Yesus menjadi manusia supaya tubuh manusiawi itu disalibkan. Ia menderita dan mati serta bangkit, untuk menciptakan Tubuh baru, yaitu jemaatNya

Darah ditumpahkan pada/dari tubuh Yesus yang terpaku di kayu salib untuk pengam-punan atau penghapusan dosa seluruh manusia. Menyelidiki dan mengaku dosa, berdamai dengan sesama manusia, serta mohon pengampunan dari Tuhan Allah.

Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Untuk tanda suci (objek materi atau tindakan) yang memiliki kemiripan dengan Sakramen, lihat Sakramentali Meskipun tidak semua orang dapat menerima semua sakramen, sakramen-sakramen secara keseluruhan dipandang sebagai sarana penting bagi keselamatan umat beriman, yang menganugerahkan rahmat tertentu dari tiap sakramen tersebut, misalnya dipersatukan dengan Kristus dan Gereja, pengampunan dosa-dosa, ataupun pengkhususan (konsekrasi) untuk suatu pelayanan tertentu. Tetapi kurang layaknya kondisi penerima untuk menerima rahmat yang dianugerahkan tersebut dapat menghalangi efektivitas sakramen itu baginya; sakramen memerlukan adanya iman meskipun kata-kata dan elemen-elemen ritualnya berdampak menyuburkan, menguatkan, dan memberi ekspresi bagi iman (Kompendium Katekismus Gereja Katolik, 224).

Penjelasan tiap sakramen tersebut berikut ini terutama didasarkan atas Kompendium Katekismus Gereja Katolik.

Pembaptisan juga membuat penerimanya mengambil bagian dalam imamat Kristus dan merupakan landasan komuni (persekutuan) antar semua orang Kristen. Sakramen ini menandai penerimanya dengan suatu meterai rohani yang berarti orang tersebut secara permanen telah menjadi milik Kristus.

Seperti pembaptisan, penguatan hanya diterima satu kali, dan si penerima harus dalam keadaan layak (artinya bebas dari dosa-maut apapun yang diketahui dan yang belum diakui) agar dapat menerima efek sakramen tersebut. Hanya uskup atau imam yang dapat menjadi pelayan Sakramen Ekaristi, dengan bertindak selaku pribadi Kristus sendiri.

Sakramen ini memiliki empat unsur: penyesalan si peniten (si pengaku dosa) atas dosanya (tanpa hal ini ritus rekonsiliasi akan sia-sia), pengakuan kepada seorang imam (boleh saja secara spirutual akan bermanfaat bagi seseorang untuk mengaku dosa kepada yang lain, akan tetapi hanya imam yang memiliki kuasa untuk melayankan sakramen ini), absolusi (pengampunan) oleh imam, dan penyilihan.

Pada awal abad-abad Kekristenan, unsur penyilihan ini sangat berat dan umumnya mendahului absolusi, namun sekarang ini biasanya melibatkan suatu tugas sederhana yang harus dilaksanakan oleh si peniten, untuk melakukan beberapa perbaikan dan sebagai suatu sarana pengobatan untuk menghadapi pencobaan selanjutnya. Baru menderita sakit ataupun makin memburuknya kondisi kesehatan membuat sakramen ini dapat diterima berkali-kali oleh seseorang. Dalam tradisi Gereja Barat, sakramen ini diberikan hanya bagi orang-orang yang berada dalam sakratul maut, sehingga dikenal pula sebagai “Pengurapan Terakhir”, yang dilayankan sebagai salah satu dari “Ritus-Ritus Terakhir”.

Pentahbisan seseorang menjadi imam mengkonfigurasinya menjadi Kristus selaku Kepala Gereja dan Imam Agung, serta menganugerahkan baginya kuasa, sebagai asisten uskup yang bersangkutan, untuk merayakan sakramen-sakramen dan kegiatan-kegiatan liturgis lainnya, teristimewa Ekaristi. Pentahbisan seseorang menjadi diakon mengkonfigurasinya menjadi Kristus selaku Hamba semua orang, menempatkan dia pada tugas pelayanan uskup yang bersangkutan, khususnya pada kegiatan Gereja dalam mengamalkan cinta-kasih Kristiani terhadap kaum papa dan dalam memberitakan firman Allah.

Sakramen-sakramen juga invalid jika materia atau forma-nya kurang sesuai dengan yang seharusnya. Syarat terakhir berada di balik penilaian Tahta Suci pada tahun 1896 yang menyangkal validitas imamat Anglikan.

Adapun masing-masing Gereja Katolik Ritus Timur, setelah memenuhi syarat-syarat tertentu termasuk berkonsultasi dengan (namun tidak harus memperoleh persetujuan dari) Tahta Suci, dapat menetapkan halangan-halangan (Kitab Hukum Kanonik Gereja-Gereja Timur, kanon 792). Syarat-syarat bagi validitas pernikahan seperti cukup umur (kanon 1095) serta bebas dari paksaan (kanon 1103), dan syarat-syarat bahwa, normalnya, mengikat janji pernikahan dilakukan di hadapan pejabat Gereja lokal atau imam paroki atau diakon yang mewakili mereka, dan di hadapan dua orang saksi (kanon 1108), tidaklah digolongkan dalam Hukum Kanonik sebagai halangan, tetapi sama saja efeknya. Ada tiga sakramen yang tidak boleh diulangi: Pembaptisan, Penguatan dan Imamat: efeknya bersifat permanen. Akan tetapi, jika ada keraguan mengenai validitas dari pelayanan satu atau lebih sakramen-sakramen tersebut, maka dapat digunakan suatu formula kondisional pemberian sakramen misalnya: “Jika engkau belum dibaptis, aku membaptis engkau …”

Sakramen: Apa pentingnya di dalam kehidupan iman kita? – katolisitas.org

Banyak orang berpikir bahwa iman itu hanya menyangkut kerohanian, dan tidak ada sangkut pautnya dengan hal jasmani. Namun sesungguhnya tidak demikian, karena manusia diciptakan Allah terdiri dari jiwa dan tubuh. Rahmat Ilahi ini hanya datang dari Allah, dan kita memperolehnya lewat sakramen -sakramen. Prinsip ‘tubuh dan jiwa’ ini yang mendasari adanya sakramen di dalam Gereja.

“Rahmat tidak menghancurkan kodrat, melainkan menyempurnakannya (grace does not destroy nature but perfects it),” kata St. Thomas Aquinas. Karena itu, sudah menjadi kehendak Allah bahwa segala rahmat ilahi dapat dialami dan dirasakan oleh tubuh, supaya oleh rahmat-Nya kita dipulihkan dari akibat dosa, dan tubuh kita ‘diangkat’ sehingga bernilai ilahi.

Katekismus mengutip perkataan St. Leo Agung mengajarkan, “apa yang tampak pada Penebus kita, sudah dialihkan ke dalam misteri-misteri-Nya”/ sakramen-sakramen-Nya. Jadi sakramen tidaklah hanya sebagai tanda atau lambang, tetapi juga sebagai pemenuhan makna dari tanda itu sendiri, yaitu rahmat pengudusan untuk keselamatan kita ((Lihat Roman Catechism Part II, Ibid., “Signs Instituted by God”, “God has appointed signs with power not only to signify, but also to accomplish what they signify.

See also, “Kind of Sacred thing Meant Here”, “…the nature of a Sacrament,… is a sensible object which posseses, by divine institution, the power not only of signifying, but also of accomplishing holiness and righteousness.”)) sehingga Gereja mengajarkan bahwa dengan mengambil bagian di dalam sakramen, kita diselamatkan, karena melalui Kristus, kita dipersatukan dengan Allah sendiri.

Jadi semua sakramen tidak hanya membawa rahmat pengudusan (sekarang), namun juga menghadirkan Misteri Paska Kristus (di masa lampau) yang menjadi sumber kekudusan, dan menjadi gambaran akan kebahagiaan surgawi sebagai akhir dari pengudusan kita (yang akan datang). ((Lihat Ibid., “All Sacraments Signify Something Present, Something Past, Something Future: all of them declare not only our sanctity and justification, but also… the Passion of Christ our Redeemer, which is the source of our sanctification, and also eternal life and heavenly bliss, which are the end of sanctification…They remind us of something past, they indicate and point out to something present; they foretell something future.”)) Dengan berpartisipasi di dalam sakramen inilah kita mengambil bagian di dalam kehidupan Ilahi yang tidak mengenal batas waktu; di dalam kehidupan Kristus yang mengatasi segala sesuatu. Kita melihat dalam masa Perjanjian Lama bagaimana Allah memberikan tanda-tanda yang menyertai bangsa Israel sampai ke Tanah Terjanji.

Ketiga, sakramen menjadi sesuatu yang selalu ada sebagai ‘obat’ rohani demi kesembuhan jiwa dan raga. Alasannya adalah karena terdapat hubungan yang erat antara kehidupan rohani dan jasmani. ((Disarikan dari Roman Catechism, “Why the Sacraments were Instituted“)) Secara jasmani ada tujuh tahap penting kehidupan: kita lahir, tumbuh menjadi dewasa karena makan.

Kita diteguhkan oleh Roh Kudus dan menjadi dewasa dalam iman melalui sakramen Penguatan (Kis 1:5).

Kita bertumbuh karena mengambil bagian dalam sakramen Ekaristi yang menjadi santapan rohani (Yoh 6: 51-56). ((Lihat Roman Catechism, “The Author of the Sacraments“, “God alone has power to enter into the hearts and minds of men, He alone, through Christ, is manifestly the author of the Sacraments.”)) Sakramen mengandung kuasa yang mencapai kedalaman jiwa seseorang, dan hanya Allah yang mampu melakukan hal itu. Jadi walaupun disampaikan oleh para imam, sakramen-sakramen Gereja tersebut merupakan karya Kristus. Kardinal Ratzinger (sekarang Paus Benedict XVI) menyatakan, dari sisi pandang imam sebagai penerus para rasul, sakramen berarti, “Aku memberikan apa yang tidak dapat kuberikan sendiri; aku melakukan apa yang bukan pekerjaanku sendiri… aku (hanyalah) membawakan sesuatu yang dipercayakan kepadaku.” ((Diterjemahkan dari Joseph Cardinal Ratzinger, Called to Communion, (Ignatius Press, San Francisco, 1991), p. 115))

Jadi Kristuslah yang oleh kuasa Roh Kudus bekerja melalui para imam-Nya di dalam sakramen-sakramen. Berikut ini adalah akibat yang dihasilkan oleh penerimaan sakramen: ((Disarikan dari Roman Catechism, “Effects of the Sacraments”)) Karena karakter khusus inilah, maka ketiga sakramen ini hanya dapat diterima satu kali saja. Pertama, kita harus mengetahui, menghargai dan menghormati rahmat ilahi yang diberikan melalui sakramen-sakramen ini.

Sakramen Dalam Gereja Katolik

Kita sering mendengar kata sakramen dalam setiap pengajaran iman Katolik. Namun demikian, apakah kita paham dan mengerti makna dari sakramen tersebut? Kata ‘Sacramentum’ sendiri bisa berarti “sumpah (setia) prajurit dalam dunia militer dan uang jaminan”.

PB memahami ‘Mysterion’ sebagai rencana keselamatan Allah yang terlaksana dalam Yesus Kristus.

Fungsi dan Substansi Sakramen Dalam Gereja Bala Keselamatan

melakukan pertobatan dan memiliki iman, ditambah melalui perbuatan Roh Kudus yang mampu memperbarui kehidupan. Bagi Bala Keselamatan, substansi yang paling dalam dari sebuah sakramen lebih menekankan pada kesucian hidup. Mereka menganggap kedua tata upacara suci tersebut sebagai sarana yang dipakai untuk meneruskan karya batiniah dari kasih-karunia, seolah-olah perbuatan makan roti dan minum anggur bilamana dilaksanakan dengan cara tertentu, atau perbuatan dibaptiskan di dalam air, mempunyai khasiat tersendiri. 24 Hal ini sesuai dengan Pengakuan Iman ke-4, 6, 7, 8, dan 10 Jelaslah bahwa hal demikian itu keliru, karena banyak bukti yang menunjukkan bahwa banyak orang telah mengikuti tata upacara suci tersebut namun tidak menerima berkat batiniah yang dilambangkan oleh kedua tata upacara suci tersebut.

Mereka mengalami pendamaian dan baptisan batiniah – kuasa Roh Kudus yang mampu memperbaharui kehidupan – ketika mereka di dalam hati menghayati arti amanat bahwa orang yang benar akan hidup dengan iman, dan bahwa Allah menyediakan berkatNya bagi orang-orang beriman. Hal ini semakin dipertegas dalam Perjanjian Baru menegaskan bahwa suatu upacara suci akan bermanfaat bagi manusia bilamana memiliki arti rohaniah dan aktif, tak jadi soal apakah orang-orang yang bersangkutan secara lahiriah mengikuti 25 Buku Pengajaran Agama: Doktrin Bala Keselamatan.

Bandung: Kantor Pusat Bala Keselamatan, 1981, h. 266 dan hal-hal yang dikehendaki oleh Yesus berarti sama halnya melakukan sakramen secara substansial. Kesaksian yang diberikan GBK ini ditujukan kepada dirinya sendiri maupun kepada pihak lain tentang adanya bahaya berupa mempercayai suatu upacara suci lahiriah tertentu seolah-olah itu sendiri punya suatu daya Ilahi, seolah- olah berkat rohaniah dari Allah dapat diterima melalui suatu tindakan lahiriah yang kurang memiliki keseluruhan persekutuan rohaniah dengan Dia, atau bahwa kewajiban-kewajiban kristiani berupa persekutuan dan pelayanan dapat dilaksanakan dengan melaksanakan tanda upacara suci dengan tidak didukung oleh praktek 28 Hasil wawancara dengan Bapak Mayor Ranggi, Kepala Pusdiklat GBK Jakarta.

Jadi, Gereja Bala Keselamatan tidaklah mengecam penggunaan tanda-tanda sakramental bilamana itu semua menolong ke arah tujuan ini. Namun demikian, tidak melaksanakan sakramen yang dimaksud oleh Gereja Bala Keselamatan GBK adalah pelaksanaan secara simbolik-formalistik.

GBK tidak melakukan sakramen seperti pecah-pecah roti, minum anggur atau percikan air baptisan secara simbolik yang acapkali dilakukan orang Kristen dalam beribadah pada umumnya. Bagi GBK, Kristus itu adalah kasih, mengampuni, menolong orang, tidak sombong atau sebagai pejuang kemanusiaan.

A. Saran-saran Deskripsi, metode dan analisa dalam penulisan skripsi ini, penulis sadari masih jauh dari kata sempurna.

Iman Katolik …..Media Informasi dan Sarana Katekese

kanon: contoh masukan no kanon: 34,479,898-906 KITAB SUCI + Deuterokanonika Kejadian Keluaran Imamat Bilangan Ulangan Yosua Hakim-Hakim Rut 1 Samuel 2 Samuel 1 Raja-Raja 2 Raja-Raja 1 Tawarikh 2 Tawarikh Ezra Nehemia Tobit Yudit Ester Ayub Mazmur Amsal Pengkhotbah Kidung Agung Kebijaksanaan Sirakh Yesaya Yeremia Ratapan Barukh Yehezkiel Daniel Hosea Yoel Amos Obaja Yunus Mikha Nahum Habakuk Zefanya Hagai Zakharia Maleakhi 1 Makabe 2 Makabe Matius Markus Lukas Yohanes Kisah Para Rasul Roma 1 Korintus 2 Korintus Galatia Efesus Filipi Kolose 1 Tesalonika 2 Tesalonika 1 Timotius 2 Timotius Titus Filemon Ibrani Yakobus 1 Petrus 2 Petrus 1 Yohanes 2 Yohanes 3 Yohanes Yudas Wahyu : – Pilih kitab kitab, masukan bab, dan nomor ayat yang dituju Katekismus Gereja Katolik No.

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.