Press "Enter" to skip to content

Doa Pokok Dalam Gereja Katolik Yang Berisi Iman Umat Akan Allah Tritunggal Mahakudus Adalah

Tentu saja hal ini tidak benar, sebab iman Kristiani mengajarkan Allah Yang Esa. Pola pikir yang dibutuhkan adalah bahwa tidak semua hal tentang Allah dapat dijelaskan dengan logika manusia semata-mata.

St. Agustinus bahkan mengatakan, “Kalau engkau memahami- Nya, Ia bukan lagi Allah”. Hanya dengan hati terbuka, kita dapat menerima rahmat Tuhan, untuk menerima rahasia Allah yang terbesar ini; dan hati kita akan dipenuhi oleh ucapan syukur tanpa henti.

Di dalam Kristuslah, kami mengenal kedalaman misteri kehidupan-Mu, yang adalah KASIH ilahi. 148 Kelas X SMASMK diunduh dari psmk.kemdikbud.go.idpsmk Semoga oleh kuasa-Mu, hati kami dapat terbuka untuk melihat betapa besar dan dalamnya misteri Kasih itu.

Pengalaman Terhadap Karya Allah yang Trinitaris Simaklah cerita mistik di bawah ini: KAMI BERTIGA, KAMU BERTIGA Saduran: Anthony de Mello, SJ Ketika kapal seorang Uskup berlabuh untuk satu hari di sebuah pulau yang terpencil, ia bermaksud menggunakan hari itu sebaik-baiknya. Ia berjalan- jalan menyusur pantai dan menjumpai tiga orang nelayan sedang memperbaiki pukat.

Dalam bahasa Inggris pasaran mereka menerangkan, bahwa berabad- abad sebelumnya penduduk pulau itu telah dibaptis oleh para misionaris. ‘Lantas, apa yang kamu ucapkan bila berdoa?’ ‘Kami memandang ke langit.

Uskup heran akan doa mereka yang primitif dan jelas bersifat bidaah ini. Sebab, mereka dapat mengucapkan doa syahadat dengan lengkap tanpa satu kesalahan pun.

Sambil memandang keheran-heranan, Uskup melihat tiga sosok tubuh manusia berjalan di atas air, menuju ke kapal. Kapten kapal menghentikan kapalnya dan semua pelaut berjejal-jejal di pinggir geladak untuk melihat pemandangan ajaib ini. 149 Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti diunduh dari psmk.kemdikbud.go.idpsmk Ketika mereka sudah dekat, barulah Uskup mengenali tiga sahabatnya, para nelayan dulu. Istilah tersebut dipakai oleh Gereja untuk mengungkapkan relasi kesatuan antara Bapa, Putera dan Roh Kudus. St. Paus Clement dari Roma menjadi Paus tahun 88-99: “Bukankah kita mempunyai satu Tuhan, dan satu Kristus, dan satu Roh Kudus yang melimpahkan rahmat-Nya kepada kita?” St. Ignatius dari Antiokhia 50-117 membandingkan jemaat dengan batu yang disusun untuk membangun bait Allah Bapa; yang diangkat ke atas oleh ‘katrol’ Yesus Kristus yaitu Salib-Nya dan oleh ‘tali’ Roh Kudus. “Sebab Tuhan kita, Yesus Kristus, telah dikandung oleh Maria seturut rencana Tuhan: dari keturunan Daud, adalah benar, tetapi juga dari Roh St. Polycarpus 69-155, dalam doanya sebelum ia dibunuh sebagai martir, “… Aku memuji Engkau Allah Bapa, aku memuliakan Engkau, melalui Imam Agung yang ilahi dan surgawi, Yesus Kristus, Putera-Mu yang terkasih, melalui Dia dan bersama Dia, dan Roh Kudus, kemuliaan bagi-Mu sekarang dan sepanjang segala abad.

Seperti kita ketahui di atas, iman kepada Allah Tritunggal telah ada sejak zaman Gereja abad awal, karena didasari oleh perkataan Yesus sendiri yang disampaikan kembali oleh para murid-Nya. Pribadi ini tidak membagi-bagi ke-Allahan seolah masing-masing menjadi sepertiga, namun mereka adalah ‘sepenuhnya dan seluruhnya’.

Untuk menjelaskan Trinitas atau Tritunggal, pertama-tama kita harus mengetahui terlebih dahulu beberapa istilah kunci, pertama: apa yang disebut sebagai substansihakekatkodrat dan apa yang disebut sebagai pribadi, Kedua, bagaimana menjelaskan prinsip Trinitas dengan jawaban atas pertanyaan : kenapa hal ini sudah sepantasnya terjadi ARGUMENT OF FITTINGNESS. Argument of ittingness Seorang Filsuf bernama Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai akal budi.

Berdasarkan prinsip “seseorang tidak dapat memberi jika tidak lebih dahulu mempunyai” maka Tuhan yang memberikan kemampuan pada manusia untuk mengetahui dan mengasihi, pastilah Tuhan sudah memiliki kemampuan tersebut secara sempurna. Maka, di dalam Tuhan, ‘pengetahuan’ akan Diri-Nya sendiri dan segala sesuatu terwujud di dalam perkataan-Nya, yang kita kenal sebagai “Sabda Firman”; dan Sabda ini adalah Yesus, Sang Allah Putera.

Selanjutnya, kesempurnaan manusia sebagai makhluk personal dinyatakan, tidak hanya melalui kemampuannya untuk mengetahui, namun juga mengasihi, yaitu memberikan dirinya kepada orang lain dalam persekutuannya dengan sesama. Maka tindakan ‘mengasihi’ hanya bisa terja- di bila ada pribadi lain yang menerima kasih tersebut.

Demikian pula Allah 154 Kelas X SMASMK diunduh dari psmk.kemdikbud.go.idpsmk tidak mungkin Allah sendirian, pasti sejak semula hidup dalam “persekutuan dengan yang lain” sehingga keberadaan-Nya, kasih-Nya, dan kemampuan- Nya untuk bersekutu dapat terwujud, dan dapat menjadi contoh sempurna bagi kita dalam hal mengasihi. Dalam hal ini, hubungan kasih timbal balik antara Allah Bapa dengan Putera-Nya Sang Sabda ‘menghembuskan’ Roh Kudus; dan Roh Kudus kita kenal sebagai Pribadi Allah yang ketiga.

Seperti telah disebutkan di atas, kasih tidak mungkin berdiri sendiri, namun melibatkan dua belah pihak. Setelah kalian membaca uraian di atas, coba rumuskan secara tertulis pemahamanmu tentang Tritunggal Iman akan Allah Tritunggal sebagai ciri khas iman kristiani senantiasa dihidupi dalam hidup beriman sehari-hari, baik secara pribadi maupun bersama. Kita mengalami karya penciptaan ini dalam peristiwa kelahiran, pertumbuhan, dan sebagainya. Karya khas dari Allah Roh Kudus adalah memperbaharui, meneguhkan dan mempersatukan.

Maka yang dibutuhkan dalam diri kita adalah iman, keterbukaan hati akan karya Tritunggal, dan menanggapinya melalui tindakan konkret 156 Kelas X SMASMK diunduh dari psmk.kemdikbud.go.idpsmk Doa Doa Madah Kemuliaan Kemuliaan kepada Allah di Surga, dan damai di bumi bagi orang yang berkenan kepada-Nya. Amin 157 Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti diunduh dari psmk.kemdikbud.go.idpsmk B. Peran Roh Kudus bagi Gereja

Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Ketiga pribadi ini berbeda, tetapi merupakan satu “substansi, esensi, atau kodrat” (homoousios). Menurut misteri sentral dari keyakinan Kristen pada umumnya ini, hanya ada satu Allah dalam tiga pribadi: kendati berbeda satu sama lain dalam hubungan asal (sebagaimana dinyatakan dalam Konsili Lateran IV, “adalah Allah yang memperanakkan, Putra yang diperanakkan, dan Roh Kudus yang dihembuskan”) dan hubungan satu sama lain, tetapi ketiganya dinyatakan satu dalam semua yang lain, setara, sama kekalnya, dan konsubstansial, serta masing-masing adalah Allah, seutuhnya dan seluruhnya.

[8] Karenanya seluruh karya penciptaan dan rahmat dipandang sebagai satu operasi tunggal secara bersama-sama pada keseluruhan tiga pribadi ilahi, dengan kekhususan masing-masing pribadi, sehingga segalanya berasal “dari Bapa”, “melalui Putra”, dan “dalam Roh Kudus”. Para Bapa Gereja memandang elemen-elemen Perjanjian Lama seperti penampakan tiga orang kepada Abraham di dalam Kitab Kejadian, bab/pasal 18, sebagai pertanda Tritunggal, tetapi mereka memandang Perjanjian Baru sebagai suatu dasar untuk mengembangkan konsep Tritunggal. Sebaliknya, menurut teologi Kristen, Kitab Suci “memberikan kesaksian” tentang kegiatan suatu pribadi Allah yang hanya dapat dipahami dari segi Trinitaris. [16] Catatan pertama terkait penggunaan kata Yunani ini dalam teologi Kristen adalah oleh Teofilus dari Antiokhia pada sekitar tahun 179.

Tertullianus, seorang teolog Latin yang menulis pada awal abad ke-3, dianggap sebagai orang pertama yang menggunakan kata-kata Latin terkait “Trinitas”,[20] “pribadi” dan “substansi”,[21] untuk menjelaskan bahwa Bapa, Putra, dan Roh Kudus adalah “satu dalam esensi—bukan satu dalam Pribadi”. Para Bapa Gereja Pra-Nicea menegaskan keilahian Kristus dan berbicara mengenai “Bapa, Putra, dan Roh Kudus”, meskipun bahasa mereka tidak sama dengan yang digunakan doktrin tradisional ini sebagaimana diformalkan pada abad ke-4.

Kalangan yang menganut paham Trinitas memandang hal itu sebagai elemen-elemen dari doktrin terkodifikasi. Ia mendefinisikan Trinitas sebagai Allah, Firman-Nya (Logos), dan Kebijaksanaan-Nya (Sofia)[28] dalam konteks diskusi mengenai tiga hari pertama penciptaan. Ia secara eksplisit mendefinisikan Trinitas sebagai Bapa, Putra, dan Roh Kudus serta membela teologi Trinitaris dalam upayanya melawan paham “Praxean”. Formulasi awal lainnya, dan sudah lebih filosofis, mengenai Trinitas (tanpa menggunakan istilah tersebut) dikaitkan dengan seorang pengajar Gnostik bernama Valentinius (hidup ca.

Bagaimanapun, terlepas dari kemungkinan pengaruhnya pada doktrin yang kemudian terbentuk sepenuhnya, mazhab Valentinus ditolak dan dipandang sesat oleh kalangan Kristen ortodoks. Perkembangan paling signifikan diartikulasikan selama empat abad pertama oleh para Bapa Gereja[31] sebagai tanggapan terhadap Adopsionisme, Sabellianisme, dan Arianisme. [37][38] Kredo (syahadat atau pengakuan iman) tersebut menggunakan istilah homoousios (dari satu substansi) untuk mendefinisikan hubungan antara Bapa dan Putra. [41] Doktrin keilahian dan kepribadian Roh Kudus dikembangkan oleh Athanasius dalam beberapa dekade terakhir hidupnya.

Dalam Injil sinoptik, pembaptisan Yesus sering kali diinterpretasikan sebagai salah satu manifestasi dari ketiga pribadi Trinitas: “Sesudah dibaptis, Yesus segera keluar dari air dan pada waktu itu juga langit terbuka dan Ia melihat Roh Allah seperti burung merpati turun ke atas-Nya, lalu terdengarlah suara dari surga yang mengatakan: ‘Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.'”Mat. Matius 28:19 dapat digunakan untuk mengindikasikan bahwa pembaptisan dikaitkan dengan formula ini sejak dekade paling awal keberadaan Gereja. Untuk alasan ini, mereka sering kali berfokus pada pembaptisan dalam Kisah Para Rasul. Hubungan rangkap tiga [dari Bapa, Putra, dan Roh Kudus] ini segera menemukan ekspresi tetap dalam formula triadik [sic] di 2 Kor.

Dalam Perjanjian Baru, konsep Trinitaris tidak pernah menjadi “triteisme” (tiga Allah) atau bahkan dua.

Suatu penggambaran tentang Konsili Nicea pada tahun 325 M, tempat Ketuhanan Kristus dideklarasikan ortodoks dan Arianisme dikutuk. Konsep ini merujuk pada Yohanes 14–17 sebagai dasarnya, yang menuliskan peristiwa-peristiwa Yesus mengajar para murid perihal makna kepergian-Nya. Perikoresis secara efektif meniadakan gagasan bahwa Allah terdiri dari bagian-bagian, tetapi adalah suatu keberadaan yang sederhana.

Perikoresis menyajikan suatu figur intuitif tentang apa yang dapat dimaknai dari hal itu. Menurut perkataan Yesus, mereka yang telah menikah tidak lagi dua dalam pengertian tertentu tetapi bergabung menjadi satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”Mat.

Argumen mengenai apakah Roh berasal dari Bapa saja, atau dari Bapa dan Putra, merupakan salah satu katalis terjadinya Skisma Besar, dalam hal ini berkaitan dengan penambahan klausa Filioque oleh pihak Barat ke dalam Pengakuan Iman Nicea.

Gereja Katolik Roma mengajarkan bahwa, dalam pengertian kata kerja Latin procedere (yang belum tentu mengindikasikan awal mula dan karenanya bersesuaian dengan proses “melalui”), bukan dalam pengertian kata kerja Yunani ἐκπορεύεσθαι (yang mengimplikasikan awal mula),[61] Roh “berasal” dari Bapa dan Putra. Gereja Ortodoks Timur, yang mengajarkan bahwa Roh “berasal” dari Bapa saja, tidak memberikan pernyataan apa pun perihal klaim perbedaan makna kedua kata itu, satu Yunani dan satu Latin, sementara keduanya sama-sama diterjemahkan sebagai “berasal dari” (bahasa Inggris: proceeds). Bahasa tersebut kerap dianggap menyulitkan karena, apabila digunakan berkenaan dengan manusia atau makhluk ciptaan lainnya, maka akan mengimplikasikan waktu dan perubahan; sedangkan ketika digunakan dalam konteks ini tidak untuk dimaknai bahwa terdapat awal, perubahan hakikat, ataupun proses dalam satuan waktu. Sebagian besar kelompok Protestan yang menggunakan pengakuan iman tersebut juga menyertakan klausa Filioque.

Karya Allah menyingkapkan siapa Dia dalam Diri-Nya sendiri; misteri keberadaan-Nya yang terdalam mencerahkan pemahaman kita atas semua karya-Nya. Para teolog pra-Nicea berpendapat bahwa segala sesuatu yang dilakukan Trinitas dikerjakan bersama-sama oleh Bapa, Putra, dan Roh Kudus dalam satu kesatuan kehendak. Sebaliknya, dalam pengertian yang tepat tentang Ketuhanan, mari kita melihat suatu transmisi kehendak, seperti pantulan sebuah objek di cermin, berlalu tanpa indikasi waktu dari Bapa kepada Putra. [65] Menurutnya, karakteristik-karakteristik manusia tersebut tidak untuk ditelusuri kembali ke dalam Trinitas yang kekal.

Demikian pula Bapa-bapa Kapadokia menegaskan bahwa tidak ada ketidaksamaan oikonomi di dalam Trinitas. Kata Basilius, “Kita memandang operasi dari Bapa, Putra, dan Roh Kudus adalah satu dan sama, tidak dalam aspek yang menunjukkan perbedaan atau variasi; dari identitas operasi ini kita tentu menyimpulkan kesatuan kodrat. Pada Abad Pertengahan, teori tersebut secara sistematis diajarkan oleh para akademisi seperti Bonaventura.

Roger E. Olson mengatakan kalau sejumlah teolog evangelikal memegang pandangan bahwa terdapat suatu hierarki otoritas dalam Trinitas dengan Putra sebagai subordinasi Bapa: “Injil Yohanes membuat hal ini jelas karena Yesus berulang kali menyebutkan bahwa Ia datang untuk melakukan kehendak Bapa.

Richard E. Rubenstein mengatakan bahwa Konstantinus Agung dan Hosius dari Korduba penasihatnya menyadari akan perlunya gereja yang ditetapkan secara ilahi yang di dalamnya otoritas gereja, dan bukan individu, mampu menentukan keselamatan individu, sehingga mereka mendukung rumusan Nicea homoousion. [70] Menurut Eusebius, Konstantinus mengusulkan istilah homoousios pada Konsili Nicea, kendati kebanyakan akademisi meragukan kalau Konstantinus memiliki pengetahuan terkait hal tersebut dan mereka menganggap bahwa kemungkinan besar Hosius yang telah mengusulkan istilah tersebut kepadanya.

[74] Perjanjian Baru tidak menggunakan kata Τριάς (Trinitas)[75] ataupun secara eksplisit mengajarkan doktrin Trinitaris Nicea, tetapi terdapat beberapa bagian yang menggunakan pola rangkap dua dan rangkap tiga untuk berbicara mengenai Allah. “Ul 6:4[76] menuntun Gereja perdana untuk membahas apakah Bapa, Putra, dan Roh Kudus adalah “satu” atau “esa”.

[78][79] Konsep ini diungkapkan dalam tulisan-tulisan awal sejak awal abad ke-2, dan para akademisi yang lain meyakini bahwa cara Perjanjian Baru berulang kali berbicara mengenai Bapa, Putra, dan Roh Kudus seperti demikian menghendaki pembaca agar menerima pemahaman Trinitaris.

1:1[82] Injil Yohanes berakhir dengan pernyataan Tomas bahwa ia percaya Yesus adalah Allah, “Ya Tuhanku dan Allahku!”Yoh. 20:28[77] Tidak ada kecenderungan yang signifikan di antara para akademisi modern untuk menyangkal bahwa Yohanes 20:28 mengidentifikasi Yesus dengan Allah. Terdapat juga beberapa kemungkinan dukungan biblika akan keilahian Yesus di dalam Injil Sinoptik.

Injil Matius, sebagai contoh, memuat kutipan kata-kata Yesus, “Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku.”Mat. Beberapa ungkapan dalam surat-surat Paulus juga ditafsirkan sebagai hal-hal yang mengaitkan keilahian dengan Yesus.

Beberapa kalangan mengemukakan bahwa Yohanes menyajikan suatu hierarki ketika mengutip Yesus yang mengatakan, “Bapa lebih besar dari pada Aku”,Yoh.

[86] Namun, para Bapa Gereja seperti Agustinus dari Hippo berpendapat bahwa pernyataan tersebut adalah untuk dipahami sebagai Yesus yang berbicara dalam rupa seorang manusia biasa.

Di satu sisi, sekte Pneumatomaki menyatakan bahwa Roh Kudus merupakan pribadi yang lebih rendah daripada Bapa dan Putra. Di sisi lain, Bapa-bapa Kapadokia berpendapat bahwa Roh Kudus merupakan pribadi yang setara dengan Bapa dan Putra.

Meskipun teks utama yang digunakan untuk membela keilahian Roh Kudus adalah Matius 28:19, para Bapa Kapadokia seperti Basilius Agung memberikan argumen dari bagian lainnya seperti “Tetapi Petrus berkata: ‘Ananias, mengapa hatimu dikuasai Iblis, sehingga engkau mendustai Roh Kudus dan menahan sebagian dari hasil penjualan tanah itu? Mereka juga memadukan frasa “hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya”Yoh.

15:15 dengan 1 Korintus 2:11 dalam suatu upaya untuk memperlihatkan bahwa Roh Kudus bukan hamba Allah, dan karenanya setara.

Penggunaan kata “paraclete” (Yunani: parakletos) bagi Roh Kudus dalam Yohanes 14:16, yang dapat diterjemahkan sebagai penolong, perantara, pembimbing, atau pelindung,[92] serta tindakan dan esensi Roh Kudus yang dikarakterisasi dengan kebenaran, sebagaimana ketiga pribadi Trinitas dikaitkan dengan kebenaran (lih. Perjanjian Lama juga diinterpretasikan memberi pertanda Trinitas,[95] dengan menyebut firman Allah,Mzm 33:6 roh-Nya,Yes. 18[96] Bagaimanapun, secara umum terdapat kesepakatan di antara para akademisi Kristen Trinitaris bahwa mengorelasikan gagasan-gagasan tersebut secara langsung dengan doktrin Trinitaris kemudian adalah di luar intensi dan semangat Perjanjian Lama.

Satu hakikat yang direpresentasikan itu diindikasikan oleh fakta bahwa Ketiganya disebut dalam bentuk tunggal sebagai Tuhan. [106] Semua teofani dalam Perjanjian Lama karenanya dipandang sebagai Kristofani, masing-masing merupakan “penampakan prainkarnasi Mesias”. Trinitas paling sering diperlihatkan dalam karya seni Kristen dengan Roh Kudus direpresentasikan oleh seekor burung merpati, sebagaimana tercantum dalam kisah Injil mengenai Pembaptisan Yesus, yang hampir selalu ditampilkan dengan sayap-sayap terkembang. Namun, terdapat beberapa penggambaran menggunakan tiga figur manusia pada hampir sepanjang periode seni.

Ketika Bapa digambarkan dalam karya seni, Ia terkadang ditampilkan dengan suatu halo yang berbentuk seperti segitiga sama sisi, bukan lingkaran. 7:56 Ia terkadang direpresentasikan dengan suatu simbol—biasanya Anak Domba (agnus dei)—atau pada crucifix, sehingga Bapa adalah satu-satunya figur manusia yang ditampilkan dalam ukuran penuh.

Belakangan, di Barat, Singgasana Kerahiman (atau “Takhta Kasih Karunia”) menjadi suatu penggambaran yang umum. Dalam representasi-representasi sebelumnya, baik Bapa (khususnya) maupun Putra sering kali mengenakan mahkota dan jubah yang kompleks.

Pandangan-pandangan nontrinitaris sangat beragam berkenaan dengan kodrat Allah, Yesus, dan Roh Kudus.

Namun, ketika suku Franka menganut Katolisisme pada tahun 496, paham tersebut menghilang secara bertahap.

Beberapa denominasi atau kelompok nontrinitaris modern misalnya Kristadelfian, Sains Kristen, Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir, Iglesia ni Cristo, Saksi-Saksi Yehuwa, Pentakostal Keesaan, Gereja Allah Hari Ketujuh, dan Persekutuan Kristen Universalis Unitarian. Islam memandang Yesus sebagai salah seorang nabi, tetapi tidak ilahi,[114] dan Allah harus benar-benar tak terbagi (suatu konsep yang disebut tauhid).

Isa menjawab, “Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Penafsiran Al-Qur’an tentang ortodoksi trinitaris sebagai keyakinan di dalam Bapa, Putra, dan Perawan Maria, kemungkinan lebih karena suatu pengenalan akan peran yang diberikan oleh umat Kristen setempat (lih.

Koliridianisme) kepada Maria sebagai ibu dalam arti khusus daripada suatu kesalahpahaman akan Perjanjian Baru itu sendiri. Terdapat juga perbedaan pendapat mengenai apakah ayat tersebut seharusnya diartikan secara harfiah.

Tidak ditemukan satu pun agenda atau kelompok Arian, tetapi lebih kepada beragam kritik seputar rumusan Nicea dari perspektif-perspektif berbeda.

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.