Buatlah janji untuk berkonsultasi dengan orang-orang yang berwenang memberikan sakramen baptis, misalnya: pastor, pengkhotbah, pendeta, atau diakon. Pastor boleh melakukan pembaptisan tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan uskup dan tugas ini bisa didelegasikan kepada diakon.
Walau demikian, hal tersebut biasanya dilakukan dalam keadaan darurat, misalnya ketika seseorang yang menghadapi sakratul maut ingin dibaptis agar mengalami keselamatan. Pembaptisan di usia dewasa membantu Anda mendekatkan diri dengan Tuhan dan memperkuat iman. Siapkan acara untuk merayakan pembaptisan.Jika tanggal pembaptisan sudah dipastikan, undanglah sanak saudara dan teman-teman. Tentukan apakah Anda perlu mengadakan acara syukuran dan memesan makanan dari perusahaan jasa boga sesuai anggaran yang tersedia.
Selain itu, Anda bisa meminta bantuan teman atau anggota keluarga untuk menyediakan minuman dan camilan.
Tata Cara Baptis Bayi Katolik
Jawaban1.berkonsultasilah dengan pemimpin komunitas gereja.tanyakan kepada diri sendiri mengapa anda ingin dibaptis.siapkan acara utk merayakan pembaptisan.4.terima sakramen pembaptisan.dapatkan berkat. Bagaimana Tata Cara Pelaksanaan Sakramen Baptis Diberikan Di Gereja Katolik? 4. digabungkan menjadi anggota Gereja, sebagai bagian dari Tubuh Mistik Kristus. Melalui baptis, anak-anak memperoleh karunia penebusan dan keselamatan sebagai anak Allah serta dibebaskan dari pengaruh dosa asal ( K G K 1250). Baptis bayi mengungkapkan dengan baik ketergantungan manusia dari Allah. Di Gereja Katolik, bayi atau anak-anak kecil yang dibaptis hanya menerima baptisan saja.
Gereja Katolik menundanya hingga sang anak dianggap sudah punya kesadaran sendiri, biasanya sekitar usia tujuh tahun.
3 Cara untuk Menerima Pembaptisan
Pembaptisan di usia dewasa membantu Anda mendekatkan diri dengan Tuhan dan memperkuat iman. Banyak orang dewasa yang ingin mengalami lahir baru dan diselamatkan untuk membuktikan imannya atau karena mereka dibaptis saat masih kecil dan ingin dibaptis lagi.
SAKRAMEN DAN SAKRAMEN BAPTIS – Paroki Santo Yohanes Paulus II – Tuntungan
“Untuk mengkuduskan manusia, membangun Tubuh Kristus dan akhirnya mempersembahkan ibadat kepada Allah”(SC 59). Langkah pertama ialah katekumenat, yakni masa persiapan dengan pelajaran-pelajaran dan upacara-upacara kecil yang bersifat sakramentali. Maka pembaptisan pun dipandang sebagai suatu langkah yang amat penting dalam proses inisiasi itu. Dengan demikian ada tiga sakramen dalam proses menjadi orang Kristen yakni pembaptisan, Krisma dan Ekaristi yang karenanya disebut sakramen-sakramen inisiasi.
Pada waktu itu orang biasanya sudah menerima komuni pertama dan telah lama ikut perayaan Ekaristi. Dari sini muncul cara pembaptisan yaitu: diperciki air atau ditenggelamkan di kolam Baptis menjadi sakramen inisiasi[1]
(pada kebijakan tertentu materi mistagogi diberikan terlebih dahulu) sebelum diterimakan sakramen baptis/inisiasi kepada peserta (katekument) Kadang kala masa persiapan terakhir juga di berikan pemantapan materi pemahaman iman dalam Misatagogi.
2 Forma ini diucapkan oleh pelayan sakramen sambil menuangkan air di dahi sebanyak tiga kali.
dalam keadaan darurat, dimana harus ditepati hanya hal-hal yang dituntut untuk sahnya sakramen. 857 § 1 Diluar keadaan darurat, tempat yang biasa untuk baptis adalah gereja atau ruang doa. 860 § 1 Diluar keadaan darurat, baptis jangan diberikan di rumah pribadi, kecuali bila Ordinaris wilayah atas
862 Diluar keadaan darurat, tak seorang pun boleh melayani baptis di wilayah lain tanpa izin yang Seperti sebuah karya seni yang telah diperbaiki, difernis sampai beberapa kali dan kadang kala sedikit disalahgunakan, ritus Sakrament Pembaptisan dalam Gereja Kristen juga telah mengalami perubahan selama berabad-abad dengan alasan dan latar belakang tertentu. Karena ritus pembaptisan seperti ini dirasa lebih efektif mengungkapkan peristiwa “kelahiran baru” seseorang ke dalam Karajaan Allah yang dimasukinya melalui Sakramen Permandian.
Tapi demi alasan praktis, Gereja tetap diijinkan untuk memakai ritus pembaptisan sederhana dengan “menuangkan sedikit air pada kepala”.
Untuk lebih mamahami hal ini, mari kita kembali menengok sejarah Gereja seputar ritus sakramen permandian. Dalam bab pertama Injil Markus, seperti telah diramalkan Nabi Yesaya, Yohanes Pembaptis tampil di padang gurung sambil memaklumkan sebuah “pembaptisan pertobatan” demi pengampunan atas dosa. Penginjil Markus kemudian melanjutkan ceriteranya dengan mengatakan bahwa segera setelah peristiwa permandian di Sungai Yordan, Yesus dibawa Roh Allah ke padang gurun and tinggal di sana untuk berdoa dan berpuasa 40 hari lamanya, sambil digodai iblis. Lima belas bab kemudian, pada bagian akhir dari Injilnya, Penginjil Markus kembali mencatat kata-kata terakhir Yesus kepada kesebelas rasul (dikurangi Yudas Iskariot yang telah mengkianati Yesus): “Pergilah ke seluruh bumi dan wartakanlah Injil…Barangsiapa percaya dan dibaptis akan diselamatkan.” Tapi ahli sejarah Gereja berpendapat bahwa kemungkinan besar seorang calon permandian berdiri di air sungai atau di sebuah kolam umum, dan kemudian air dituangkan ke atas kepalanya, sambil ditanyakan kepadanya: Apakah saudara (saudari) percaya kepada Allah Bapa? Ia mulai menyebut adanya “pengurapan” minyak suci, “tanda salib” dan “penumpangan tangan” atas calon permandian. Sebelum Kaisar Romawi Konstantinus mengumumkan pada tahun 313 bahwa Gereja Kristen bukan lagi sebuah agama ilegal, maka setiap orang, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak yang menggabungkan diri menjadi orang Kristen dipandang sebagai sebagai penjahat dan dihukum dengan sangat keji. Selama tiga abad pertama orang-orang Kristen dianiaya dan dibunuh oleh pemerintahan kafir Romawi.
Orang Romawi pada masa itu mempunyai agama sendiri dengan pusat kultus penyembahan kepada dewa-dewi. Kemungkinan besar Gereja waktu itu menyusun sebuah proses perkenalan kepada orang yang baru bergabung ke dalam komunitas umat beriman.
Gereja (umat beriman) butuh waktu untuk mengenal dan percaya kesungguhan hati setiap calon permandian sebelum mereka dipermandikan (sama seperti si calon permadian juga butuh waktu untum memperlajari lebih tentang Gereja yang merupakan agama “di bawah tanah” pada masa itu). Pada waktu itu, masa katekumen (dari bahasa Yunani yang berarti “instruction” atau pelajaran) terdiri atas dua bagian. Bagian pertama adalah sebuah “masa persiapan rohani” yang berlangsung selama kurang lebih tiga tahun. Kemudian si calon dibawa ke depan uskup dan para imam, sementara sang sponsor ditanyai. Setelah Liturgi Sabda (sesudah homili) seorang calon permandian diminta untuk meninggalkan Gereja atau tempat berlangsungnya perayaan misa kudus. Puncak dari upacara itu dimulai pada Hari Kamis Suci dengan sebuah wadah pemandian sebagai sarana penyucian rohani.
Seorang diakon akan meminta para calon untuk merentangkan lengan mereka dan menghembuskan nafas untuk mengeluarkan semua roh yang tidak baik dari dalam tubuh, sambil berkata: “Saya melepaskan diri dari kau, setan, dari kungkunganmu, dari segala pernyembahan terhadapmu dan semua malaikatmu yang jahat.” Lalu sesudah itu, sambil memutarkan badan ke arah timur, para calon berseru: “Sekrang saya menyerahkan diriku kepadaMu, O Yesus Kristus.” Berdasarkan ini, bertobat kemudian harafiah berarti “memutar haluan” (turning around). Sekarang secara rohani mereka ditandai, sama seperti seorang gembala menandai (mencap) kawanan ternaknya. Sesudah itu setiap kelompok akan pergi ke ruang lain dan menanggalkan pakaian mereka. Peristiwa “penanggalan pakaian” ini melambakan “penanggalan manusia lama dari seseorang” (taking off the old self) dan kembali ke keadaan murni taman Eden sebelum munusia pertama jatuh ke dalam dosa dan lebih dari itu ada kepercayaan orang pada masa itu bahwa roh-roh jahat sering melekat pada pakaian seseorang seperti kutu busuk.
Lalu dalam keadaan telanjang dan terpisan menurut jenis kelamin, para calon dihantar ke tempat permandian. Untuk pertama kali, orang yang baru dibaptis mengambil bagian secara penuh dalam seluruh misa dan menerima Komuni Kudus. Penting untuk diingat bahwa doktrin tentang Sakramen Pembaptisan kemudian berkembangan seturut perkembangan jaman. Para ahli Kitab Suci mengandaikan bahwa ketika “seluruh rumahtangga” dipermandikan, permandian itu termasuk anak-anak, bahkan yang paling kecil sekalipun (bayi).
Tapi sekali lagi, oleh karena perkembangan refleksi iman/teologi, seperti penjelasan St. Agustinus tentang Dosa Asal pada abad V, yang akhirnya membuat permandian bayi menjadi amat populer dan dominan. Dalam keadaan seperti itu, sebuah ritus (tata upacara) yang lebih sederhana, praktis dan cepat, amat dibutuhkan. Sampai pada akhir abad VIII, upacara permandian yang sebelumnya panjang dan berlangsung selama berminggu-minggu telah dibuat sangat singkat. Anak-anak menerima upacara pengusiran roh jahat selama tiga kali pada minggu-minggu sebelum Paska dan Sabtu Suci.
Sebelum awal abad XI sejumlah uskup mengingatkan bahwa bayi kemungkian besar selalu berada dalam bahaya kematian yang tiba-tiba dan karena itu mereka mendorong para orangtua untuk tidak menunggu sampai perayaaan besar pada Hari Sabtu suci untuk mempermandikan bayi-bayi mereka. Seiring dengan perjalanan sejarah, dan ritus pendek permandian yang semula disusun khusus hanya untuk bayi-bayi, yang berada dalam bahaya kematian, menjadi begitu universal, ritus permandian Gereja perdana (abad I sampai III) semakin lama semakin dilupakan.
Hasilnya adalah bahwa pada tahun 1969, sebuah ritus Pembaptisan untuk anak-anak (bayi), yang telah direvisi, diterbitkan. Sekarang orangtua diharapkan menghadiri pembinaan (pendalaman) iman setiap kali anak mereka mau dipermandikan.
Setelah beberapa dekade berlalu, kita perlahan-lahan kembali kepada simbol-simbol, drama dan spiritutalitas komunal umat beriman yang merupakan ciri khas pembaptisan pada abad-abad pertama sejarah Gereja yang dirasa lebih efektif mengungkapkan makna permandian sebagai tanda kelahiran baru ke dalam Kerajaan Allah di dalam Yesus Kristus, sambil tetap mengakui keabsahan pembaptisan dengan ritus yang sederhana dan singkat. Karena biar bagaimanapun bentuk, panjang atau pendeknya ritus Sakramen Permandian, hakekatnya tetapi sama dan sah sebagai tanda kelahiran baru.
Banyak sekali saudara/i kita dari Gereja Protestan yang tidak dapat menerima praktek babtisan bayi. Alasan yang sering diajukan antara lain: Babtisan memerlukan pertobatan dan iman (anak kecil dan bayi tidak bisa) juga yang sering juga diajukan adalah tidak adanya dasar alkitab bagi babtisan bayi.
Kita tahu bahwa babtisan itu melahirbarukan dan menghapus dosa asal, oleh karena itulah Gereja tidak melarang bayi dibabtis. Sebab bagi kamulah janji itu dan bagi anak-anakmu dan bagi orang yang masih jauh, yaitu sebanyak yang akan dipanggil oleh Tuhan Allah kita.’ ” disini jelas sekali ungkapan Petrus bahwa kita perlu bertobat dan dibabtis yang akhirnya kita mendapat buah dari babtisan itu yaitu menerima Karunia Roh Kudus (ayat 38) dan janji itu berlaku pula untuk anak-anak (bayi juga termasuk anak-anak) (ayat 39) tentunya juga dengan melakukan hal yang sama yaitu dibabtis. Bila kita melihat dalam Perjanjian Lama dimana kita tahu bahwa bayi harus disunat (padahal mereka tidak tahu apa-apa soal iman) lihat pada Kej 17:12, Im 2:21, Luk 2:21 lalu pada Kolose 2:11-12 “Dalam Dia kamu telah disunat, bukan dengan sunat yang dilakukan oleh manusia, tetapi dengan sunat Kristus, yang terdiri dari penanggalan akan tubuh yang berdosa, karena dengan Dia kamu dikuburkan dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga oleh kepercayaanmu kepada kerja kuasa Allah, yang telah membangkitkan Dia dari orang mati.” disin jelas bahwa Paulus mempararelkan antara Sunat (Ayat 11) dengan Babtisan (ayat 11b-12) kita tahu bahwa hukum sunat berlaku juga untuk anak (bayi) berarti babtispun demikian. Pada abad ke II sudah ditemukan Babtisan bayi seperti St. Polikarpus, misalnya, dibunuh sebagai martir pada tahun 155 M. Pada saat penguasa Romawi memaksa Polikarpus untuk menyangkal Yesus Kristus dan untuk menyembah kaisar Roma, ia berseru demikian, “Delapan puluh enam tahun saya menjadi hamba-Nya, dan Ia tidak pernah berbuat yang tidak baik kepadaku, bagaimana mungkin saya dapat menghojat Rajaku yang telah menebusku?” Kesaksian ini berarti bahwa Polikarpus dibaptis sejak ia masih bayi atau kanak-kanak, yakni sekitar tahun 70-an. Dari pihak Gereja, dianjurkan untuk memilih nama seorang santa / santo pelindung pada pembaptisan. Ia menetapkan agar orang yang masuk agama Katolik (beserta anak-anak mereka) pada saat pembatisan wajib mendapat nama Kristen. Kitab Hukum Kanon (tahun 1983) dengan jelas menyebutkan bahwa tidak wajib memilih nama seorang kudus pada pembaptisan, sepanjang nama yang dipakai memiliki suatu makna kristiani atau martabat kekudusan ilahi, misalnya Fiat, Iman, Suci atau Natalia. Juga, sejak abad ke-6, bila seseorang masuk biara, ia mengambil pula suatu nama baru.
Diperlukan kerjasama antara orangtua dan wali baptis agar anak diantar kepada suatu kehidupan kristiani sesuai dengan baptisan yang telah diterimanya dan sekaligus ditunjukkan agar mereka dapat melakukan dengan setia kewajiban-kewajibannya. Umur sangatlah penting karena untuk dapat menerima tugas dan janji sebagai wali baptis pria atau wanita dituntut suatu kedewasaan yang pasti. Tidak berada dalam “dosa Publik” (menikah hanya secara sipil, konkubinat, dengan jelas menganut ideologi materialisme atau atheisme)
[2] Forma ini diucapkan oleh pelayan sakramen sambil menuangkan air di dahi sebanyak tiga kali.
Be First to Comment