Untuk tanda suci (objek materi atau tindakan) yang memiliki kemiripan dengan Sakramen, lihat Sakramentali Salah satu contoh penggunaan kata sacramentum adalah sebagai sebutan untuk sumpah bakti yang diikrarkan para prajurit Romawi; istilah ini kemudian digunakan oleh Gereja dalam pengertian harafiahnya dan bukan dalam pengertian sumpah tadi. Gereja-Gereja Pentakosta klasik, kaum Injili, Nazarin dan Fundamentalis, menganut suatu bentuk imamat yang unik. Kegiatan ordinansi lebih ditekankan peran imamat daripada peran sakramentalnya sehingga ordinansi lebih dipandang sebagai suatu tindakan pengorbanan yang dipersembahkan oleh orang-orang percaya dari pribadinya masing-masing, daripada sebagai suatu ritual yang mengandung kuasa sendiri.
Beberapa golongan (khususnya Anabaptis dan kelompok-kelompok Persaudaraan) mengakui upacara pembasuhan kaki sebagai sakramen (lihat Injil Yohanes 13:14), dan beberapa golongan lainnya (misalnya Polish National Catholic Church of America) ingin agar mendengarkan Pembacaan Injil dianggap sebagai suatu sakramen pula. Gereja Bala Keselamatan tidak mempraktikkan sakramen-sakramen formal dengan berbagai macam alasan, termasuk adanya keyakinan bahwa lebih baik bila berkonsentrasi pada realitas di balik simbol-simbol; meskipun demikian, Gereja ini tidak melarang warganya untuk menerima sakramen-sakramen di denominasi-denominasi lain. Artikel ke-39 dalam Buku Doa Bersama (Book of Common Prayer) tahun 1662 menyatakan bahwa Pembaptisan dan Komuni Suci adalah dua sakramen dominikal yang diakui dalam Gereja Inggris, dan kelima praktik lainnya dianggap “secara umum disebut sakramen.” Katekismus Gereja Episkopal di Amerika Serikat (anggota Komuni Anglikan), versi revisi lengkap tahun 1979, menyatakan: “Allah tidak membatasi diri-Nya dengan ritus-ritus ini; ritus-ritus tersebut adalah pola-pola dari cara-cara yang tak terhitung jumlahnya di mana Allah menggunakan hal-hal yang bersifat material untuk menjangkau kita.”
Mereka lebih suka menggunakan istilah “Misteri”, karena “Bagaimana hal itu mungkin terjadi” tak dapat dipahami oleh manusia. Kaum Quaker tidak mempraktikkan sakramen-sakramen formal, karena percaya bahwa segala aktivitas semestinya dipandang suci.
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Untuk tanda suci (objek materi atau tindakan) yang memiliki kemiripan dengan Sakramen, lihat Sakramentali Meskipun tidak semua orang dapat menerima semua sakramen, sakramen-sakramen secara keseluruhan dipandang sebagai sarana penting bagi keselamatan umat beriman, yang menganugerahkan rahmat tertentu dari tiap sakramen tersebut, misalnya dipersatukan dengan Kristus dan Gereja, pengampunan dosa-dosa, ataupun pengkhususan (konsekrasi) untuk suatu pelayanan tertentu. Tetapi kurang layaknya kondisi penerima untuk menerima rahmat yang dianugerahkan tersebut dapat menghalangi efektivitas sakramen itu baginya; sakramen memerlukan adanya iman meskipun kata-kata dan elemen-elemen ritualnya berdampak menyuburkan, menguatkan, dan memberi ekspresi bagi iman (Kompendium Katekismus Gereja Katolik, 224). Penjelasan tiap sakramen tersebut berikut ini terutama didasarkan atas Kompendium Katekismus Gereja Katolik. [Saat dibabtis berarti dosa kita sudah dihapus dan menjadi anggota YESUS KRISTUS] Pembaptisan juga membuat penerimanya mengambil bagian dalam imamat Kristus dan merupakan landasan komuni (persekutuan) antar semua orang Kristen.
Sakramen ini menandai penerimanya dengan suatu meterai rohani yang berarti orang tersebut secara permanen telah menjadi milik Kristus. Seperti pembaptisan, penguatan hanya diterima satu kali, dan si penerima harus dalam keadaan layak (artinya bebas dari dosa-maut apapun yang diketahui dan yang belum diakui) agar dapat menerima efek sakramen tersebut.
Hanya uskup atau imam yang dapat menjadi pelayan Sakramen Ekaristi, dengan bertindak selaku pribadi Kristus sendiri.
Sakramen ini memiliki empat unsur: penyesalan si peniten (si pengaku dosa) atas dosanya (tanpa hal ini ritus rekonsiliasi akan sia-sia), pengakuan kepada seorang imam (boleh saja secara spirutual akan bermanfaat bagi seseorang untuk mengaku dosa kepada yang lain, akan tetapi hanya imam yang memiliki kuasa untuk melayankan sakramen ini), absolusi (pengampunan) oleh imam, dan penyilihan.
Pada awal abad-abad Kekristenan, unsur penyilihan ini sangat berat dan umumnya mendahului absolusi, namun sekarang ini biasanya melibatkan suatu tugas sederhana yang harus dilaksanakan oleh si peniten, untuk melakukan beberapa perbaikan dan sebagai suatu sarana pengobatan untuk menghadapi pencobaan selanjutnya. Baru menderita sakit ataupun makin memburuknya kondisi kesehatan membuat sakramen ini dapat diterima berkali-kali oleh seseorang.
Dalam tradisi Gereja Barat, sakramen ini diberikan hanya bagi orang-orang yang berada dalam sakratul maut, sehingga dikenal pula sebagai “Pengurapan Terakhir”, yang dilayankan sebagai salah satu dari “Ritus-Ritus Terakhir”. Pentahbisan seseorang menjadi imam mengkonfigurasinya menjadi Kristus selaku Kepala Gereja dan Imam Agung, serta menganugerahkan baginya kuasa, sebagai asisten uskup yang bersangkutan, untuk merayakan sakramen-sakramen dan kegiatan-kegiatan liturgis lainnya, teristimewa Ekaristi. Pentahbisan seseorang menjadi diakon mengkonfigurasinya menjadi Kristus selaku Hamba semua orang, menempatkan dia pada tugas pelayanan uskup yang bersangkutan, khususnya pada kegiatan Gereja dalam mengamalkan cinta-kasih Kristiani terhadap kaum papa dan dalam memberitakan firman Allah. Sakramen-sakramen juga invalid jika materia atau forma-nya kurang sesuai dengan yang seharusnya.
Syarat terakhir berada di balik penilaian Tahta Suci pada tahun 1896 yang menyangkal validitas imamat Anglikan. Syarat-syarat bagi validitas pernikahan seperti cukup umur (kanon 1095) serta bebas dari paksaan (kanon 1103), dan syarat-syarat bahwa, normalnya, mengikat janji pernikahan dilakukan di hadapan pejabat Gereja lokal atau imam paroki atau diakon yang mewakili mereka, dan di hadapan dua orang saksi (kanon 1108), tidaklah digolongkan dalam Hukum Kanonik sebagai halangan, tetapi sama saja efeknya. Ada tiga sakramen yang tidak boleh diulangi: Pembaptisan, Penguatan dan Imamat: efeknya bersifat permanen. Akan tetapi, jika ada keraguan mengenai validitas dari pelayanan satu atau lebih sakramen-sakramen tersebut, maka dapat digunakan suatu formula kondisional pemberian sakramen misalnya: “Jika engkau belum dibaptis, aku membaptis engkau …”
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Untuk tanda suci (objek materi atau tindakan) yang memiliki kemiripan dengan Sakramen, lihat Sakramentali Salah satu contoh penggunaan kata sacramentum adalah sebagai sebutan untuk sumpah bakti yang diikrarkan para prajurit Romawi; istilah ini kemudian digunakan oleh Gereja dalam pengertian harafiahnya dan bukan dalam pengertian sumpah tadi. Gereja-Gereja Pentakosta klasik, kaum Injili, Nazarin dan Fundamentalis, menganut suatu bentuk imamat yang unik. Kegiatan ordinansi lebih ditekankan peran imamat daripada peran sakramentalnya sehingga ordinansi lebih dipandang sebagai suatu tindakan pengorbanan yang dipersembahkan oleh orang-orang percaya dari pribadinya masing-masing, daripada sebagai suatu ritual yang mengandung kuasa sendiri.
Beberapa golongan (khususnya Anabaptis dan kelompok-kelompok Persaudaraan) mengakui upacara pembasuhan kaki sebagai sakramen (lihat Injil Yohanes 13:14), dan beberapa golongan lainnya (misalnya Polish National Catholic Church of America) ingin agar mendengarkan Pembacaan Injil dianggap sebagai suatu sakramen pula. Gereja Bala Keselamatan tidak mempraktikkan sakramen-sakramen formal dengan berbagai macam alasan, termasuk adanya keyakinan bahwa lebih baik bila berkonsentrasi pada realitas di balik simbol-simbol; meskipun demikian, Gereja ini tidak melarang warganya untuk menerima sakramen-sakramen di denominasi-denominasi lain.
Artikel ke-39 dalam Buku Doa Bersama (Book of Common Prayer) tahun 1662 menyatakan bahwa Pembaptisan dan Komuni Suci adalah dua sakramen dominikal yang diakui dalam Gereja Inggris, dan kelima praktik lainnya dianggap “secara umum disebut sakramen.” Katekismus Gereja Episkopal di Amerika Serikat (anggota Komuni Anglikan), versi revisi lengkap tahun 1979, menyatakan: “Allah tidak membatasi diri-Nya dengan ritus-ritus ini; ritus-ritus tersebut adalah pola-pola dari cara-cara yang tak terhitung jumlahnya di mana Allah menggunakan hal-hal yang bersifat material untuk menjangkau kita.” Mereka lebih suka menggunakan istilah “Misteri”, karena “Bagaimana hal itu mungkin terjadi” tak dapat dipahami oleh manusia.
Kaum Quaker tidak mempraktikkan sakramen-sakramen formal, karena percaya bahwa segala aktivitas semestinya dipandang suci.
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sakramen menghantar rahmat berkat ritus itu sendiri, sedangkan sakramentali bergantung pada sikap (atau disposisi batin) si penerima dan doa pengantaraan umat. Selain itu, Martin Luther mempertahankan tanda salib dan pendeta-pendeta Protestan tetap memberikan berkat kepada orang yang beriman.
Indah dan Dalamnya Makna Sakramen Perkawinan Katolik – katolisitas.org
Teman kuliah sekelas saya ada yang lulusan sekolah pendeta, sebelum menjadi seorang Katolik. many things, but I should say, first and foremost, is the Church teaching regarding Marriage” (Banyak hal, namun yang terutama, adalah ajaran Gereja tentang Perkawinan). Ini adalah sesuatu yang layak kita renungkan, karena sebagai orang Katolik, kita mungkin pernah mendengar ada orang mempertanyakan, mengapa Gereja Katolik menentang perceraian, aborsi dan kontrasepsi, mengapa Gereja umumnya tidak dapat memberikan sakramen Perkawinan (lagi) kepada wanita dan pria yang sudah pernah menerima sakramen Perkawinan sebelumnya, atau singkatnya, mengapa disiplin mengenai perkawinan begitu ‘keras’ di dalam Gereja Katolik. Walaupun dalam Perjanjian Lama perkawinan monogami (satu suami dan satu istri) tidak selalu diterapkan karena kelemahan manusia, kita dapat melihat bahwa perkawinan monogami adalah yang dimaksudkan Allah bagi manusia sejak semula.
Jadi, perkawinan antara pria dan wanita berkaitan dengan penciptaan manusia menurut citra Allah. Kasih yang timbal balik, setia, dan total tanpa batas antara Allah Bapa dengan Yesus Sang Putera ‘menghasilkan’ Roh Kudus.
Pada Perjanjian Lama, kita dapat membaca bagaimana Allah menjadikan Yerusalem (bangsa Israel) sebagai istri-Nya (Yeh 16:3-14; Yes 54:6-dst; 62:4-dst; Yer 2:2; Hos 2:19; Kid 1-dst) untuk menggambarkan kesetiaanNya kepada umat manusia. Pada Perjanjian Baru, Yesus sendiri menyempurnakan nilai perkawinan ini dengan mengangkatnya menjadi gambaran akan hubungan kasih-Nya kepada Gereja-Nya (Ef 5:32).
Melihat keagungan makna perkawinan ini tidaklah berarti bahwa semua orang dipanggil untuk hidup menikah. (KGK 1601) Hal ini berkaitan dengan gambaran kasih Allah yang bebas (tanpa paksaan), setia, menyeluruh dan ‘berbuah’.
Sakramen Perkawinan juga mengangkat hubungan kasih antara suami dengan istri, untuk mengambil bagian di dalam salah satu perbuatan Tuhan yang ajaib, yaitu penciptaan manusia. Syarat ketiga adalah, mengingat pentingnya kesepakatan yang bebas dan bertanggung jawab, maka perjanjian Perawinan ini harus didahului oleh persiapan menjelang Perkawinan.
(KGK 1639) Atas dasar inilah, maka Perkawinan Katolik yang sudah diresmikan dan dilaksanakan tidak dapat diceraikan. Ikatan perkawinan yang diperoleh dari keputusan bebas suami istri, dan telah dilaksanakan, tidak dapat ditarik kembali. Sejak jaman Kristen awal, Perkawinan merupakan gambaran dari kasih Kristus kepada GerejaNya, sehingga ia bersifat seumur hidup, monogami, dan tak terceraikan. Tetapi jika ia menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan yang lain, ia juga berbuat zinah.” (The Shepherd of Hermas, 4:1:6) St. Ignatius dari Antiokhia (35-110), dalam suratnya kepada St. Polycarpus, mengajarkan kesetiaan antara suami istri, dan bahwa suami harus mengasihi istrinya seperti Tuhan Yesus mengasihi Gereja-Nya.
[5] Perkawinan sebagai lambang persatuan antara Kristus dan Gereja ditekankan kembali oleh St. Leo Agung (440-461). St. Yustinus Martyr (151): “Yesus berkata begini: “Barangsiapa melihat dan menginginkan seorang wanita, ia telah berbuat zinah di dalam hatinya di hadapan Tuhan.” Dan, “Barangsiapa kawin dengan seseorang yang telah dicerikan suaminya, berbuat zinah.” Menurut Guru kita, seperti mereka yang berdosa karena perkawinan kedua…, demikianlah juga mereka berdosa karena melihat dengan nafsu kepada seorang wanita.
Ia menentang bukan saja mereka yang telah berbuat zinah namun mereka yang ingin berbuat zinah; sebab bukan hanya perbuatan kita yang nyata bagi Tuhan tetapi bahkan pikiran kita (St. Justin Martyr, First Apology 15) St. Ignatius dari Antiokhia (35-110), dalam suratnya kepada St. Polycarpus, mengajarkan kesetiaan antara suami istri, dan bahwa suami harus mengasihi istrinya seperti Tuhan Yesus mengasihi Gereja-Nya. [6] Perkawinan sebagai lambang persatuan antara Kristus dan Gereja ditekankan kembali oleh St. Leo Agung (440-461).
[8] Karena persatuan ini, maka seseorang tidak dapat menikah lagi selagi pasangan terdahulu masih hidup, sebab jika demikian ia berzinah. [10] Origen (185-254) mengajarkan bahwa Tuhanlah yang mempersatukan sehingga suami dan istri bukan lagi dua melainkan ‘satu daging’. St. Yohanes Krisostomus (347-407), menjelaskan bahwa di dalam ayat, “Apa yang telah dipersatukan Tuhan, janganlah diceraikan manusia” (Mat 19:6), artinya adalah bahwa seorang suami haruslah tinggal dengan istrinya selamanya, dan jangan meninggalkan atau memutuskan dia. Hak perkawinan telah diberikan kepadamu untuk alasan ini; supaya kamu tidak jatuh ke dalam dosa dengan wanita asing.
‘Jika kamu terikat dengan seorang wanita, jangan bercerai; sebab kamu tidak diizinkan untuk menikah dengan orang lain, selagi istrimu masih hidup.” (St. Ambrosius, Abraham 1:7:59)”Dengarkanlah hukum Tuhan, yang bahkan mereka yang mengajarkannya harus juga mematuhinya: “Apa yang dipersatukan Allah, jangan diceraikan manusia” (Commentary on Luke 8:5) St. Hieronimus (396): “… Sepanjang suami masih hidup,… meskipun ia berzinah.. atau terikat kepada berbagai kejahatan, jika ia [sang istri] meninggalkannya karena perbuatan jahatnya, ia [suaminya itu] tetaplah adalah suaminya dan ia [sang istri] tidak dapat menikah dengan orang lain.” (St. Jerome, Letters 55:3). St. Paus Innocentius I (408): “Praktek ini dilakukan oleh semua: tentang seorang wanita, yang dianggap sebagai orang yang berbuat zinah jika ia menikah kedua kalinya sementara suaminya masih hidup, dan izin untuk melakukan penitensi tidak diberikan kepadanya sampai salah satu dari pria itu meninggal dunia.” (Pope Innocentius I, Letters 2:13:15). Maka, seorang pasangan secara hukum boleh dilepaskan, pada kasus perzinahan, tetapi ikatan untuk tidak menikah lagi, tetap berlaku. Itulah mengapa, seorang laki-laki berbuat zinah, jika ia menikahi seorang wanita yang telah dilepaskan [oleh suaminya], justru karena alasan perzinahan ini.” (St. Augustine, Adulterous Marriages 2:4:4)”Tak diragukan lagi hakekat perkawinan adalah ikatan ini, sehingga ketika seorang laki-laki dan perempuan telah dipersatukan dalam perkawinan, mereka harus tetap tidak terpisahkan sepanjang hidup mereka, atau tidak boleh bagi salah satu pihak dipisahkan dari yang lain, kecuali karena alasan perzinahan.
Sejak awal mula Allah menghendaki persatuan antara pria dan wanita, yang diwujudkan secara mendalam di dalam Perkawinan. Karena itu Perkawinan Katolik bersifat tetap seumur hidup, setia, monogami, dan terbuka terhadap kelahiran baru.
Jadi tepat jika dikatakan bahwa sakramen Perkawinan melibatkan tiga pihak, yaitu, suami, istri dan di atas segalanya, Kristus sendiri. “Marriage takes three to make a go… and when Christ is at the center, it will prevail until the end, and even now on earth, receive a foretaste of the wedding feast of the Lamb!”
Sakramen(Ordonansi (Kristen)) (Agama & Keyakinan)
Kata Latin sacramentum dan mysterium pada awalnya digunakan sebagai sinonim dalam bapa gereja dan dokumen liturgi, tetapi akhirnya mysterium menjadi misteri yang menjadi objek penyembahan pertama melalui wahyu, meskipun tidak dapat dipahami dengan akal semata. Di antara mereka, teori Berengar dari Tours bahwa bahan bakti hanyalah simbol rahmat ditolak sebagai bid’ah. “Hal itu sendiri res” Agustinus dibahas secara rinci sebagai efek dari manfaat setiap sakramen, effectus gratiae.
Dengan demikian, efek sakramen lebih penting bagi opus operatum, efek efektif dari sakramen itu sendiri sebagai karya yang dilakukan oleh Kristus, daripada situasi etis para pelaksana sakramental yang adalah pelayan gereja.
Adalah umum di antara para teolog bahwa tiga sakramen pembaptisan, pengukuhan, dan penahbisan hanya dapat diterima sekali seumur hidup karena mereka menandai karakter meterai yang tak terhapuskan pada roh penerima. Itu disebut Baptisa, Confirmatio, paenitentia, Eucharistia, ordo, matrixonium, extremema unctio dalam bahasa Latin.
Masyarakat umum telah menjadi mencolok dalam praktik sihir, yang menganggap kata-kata dan tanda-tanda sakramen hanya sebagai sarana untuk menerima rahmat keselamatan. Konsili Trente (1545-63), diadakan tak lama setelah reformasi agama, berfokus pada pemeriksaan apakah keyakinan para reformis individu menyimpang dari tradisi sakramental Gereja, khususnya Luther (1546). Namun, hal ini mendorong pihak Protestan untuk “hanya iman, hanya Sola scriptura, sola scriptura”, dan pihak Katolik memiliki kecenderungan dan praktik yang lebih kuat untuk melihatnya sebagai sarana keuntungan belaka.
MAKNA DARI SAKRAMEN PERNIKAHAN
Sakramen perkawinan pada dasarnya juga menyangkut keanggotaan Gereja dan merupakan syarat dapat mengambil bagian dalam perayaan Ekaristi. Hal itu langsung kentara, kalau membandingkan dua pasang suami istri: yang satu sudah dibaptis. sebelum menjadi suami istri, yang lain sudah berkeluarga waktu menerima sakramen pembaptisan. Dalam kitab Kejadian dikatakan: “Seorang laki-laki meninggalkan ayah-ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kej 2:24).
Perkawinan itu urusan pemerintah atau masyarakat, yang diberi doa restu oleh Gereja. Baru ketika urusan pemerintah di Eropa Barat agak kacau, Gereja menjadi lebih aktif dalam mengatur perkawinan.
Bukan hanya karena di dalam Kitab Suci tidak ada petunjuk yang jelas, tetapi juga karena dalam kehidupan Gereja sendiri berabad-abad lamanya tidak diketahui bahwa ada sakramen perkawinan. Sifat sakramental perkawinan tidak terbatas pada upacara saja, melainkan menyangkut hidup berkeluarga seluruhnya. Karena kesatuan suami-istri dengan Kristus, seluruh hidup mereka – yang adalah satu – menjadi perwujudan rahmat. Tanda rahmat ini ialah janji perkawinan, yang mengikat mereka untuk sehidup semati. Dan ditegaskan lagi: “Justru kesatuan dalam cinta setia yang diangkat oleh Kristus menjadi martabat sakramen”. Hanya saja, karena salah satu pasangan belum bersatu penuh dengan Gereja Katolik, biasanya perkawinan itu tidak diteguhkan dalam perayaan ekaristi (meski dalam hal ini tidak ada peraturan atau ketetapan yang mutlak dan umum).
Namun demikian, karena tidak sepenuhnya dilakukan dalam lingkup Gereja, sulit ditentukan nilai gerejawi perkawinan itu.
Apa yang disebut dengan perkawinan sakramental? – JawabanApapun.com
Sifat atau ciri hakiki perkawinan katolik adalah: 1. monogami, 2. tidak dapat diceraikan dan 3. berlangsung seumur hidup. Oleh karena itu, Gereja tidak menghendaki umat Katolik melakukan perkawinan campur atau beda agama ini. A. Latar Belakang Hakikat perkawinan merupakan penyatuan dua lawan jenis anak adam laki-laki dan perempuan dalam sebuah ikatan ritual agama yang menghalalkan hubungan biologis diantara keduanya serta menyatukan antara kedua keluarga suku dan negara. Apa makna ajaran Gereja tentang perkawinan menurut Gaudium et Spes art 3a brainly?
Penulis tertarik untuk membahas topik dengan judul “KEBAHAGIAAN DAN KESEJAHTERAAN SUAMI-ISTERI”. Ayat-ayat tersebut menjadi bukti bahwa pernikahan memiliki dasar hukum yang kuat di dalam Al-Qur’an.
Be First to Comment